Risalah Redaksi

Kebebasan dan Ketegangan

Kamis, 30 September 2010 | 09:53 WIB

Biasanya idul fitri diwarnai dengan kedamaian, tapi tahun ini justru penuh dengan ketegangan. Idul fitri bertepatan dengan 10 september 2010, maka sehari kemudian dilakukan peringatan pengeboman WTC di Amerika. Yang membuat ketegangan peringatan ini adalah adanya upacara pembakaran Al-Qur’an. Lagi-lagi karena terikat oleh kebebasan menghina agama, maka pemerintah tidak memiliki kekuatan hukum untuk melarang tindakan itu. Akhirmya hanya sekadar usul agar tindakan itu tidak dilarang.

Aneh, karena negeri itu memiliki undang-undang keamanan baru pre emptif security yang dibebaskan untuk menangkap orang dimana saja termasuk di negera lain yang dicurigai teoris. Tapi menghentikan orang menghina agama tidak bisa. Walaupun belakangan memang pembakaran besar tidak terjadi, tapi terjadi pembakan kecil-kecilan di sana sini. />
Kebebasan beragama yang telah lama digembar-gemborkan kembali dinodai. Hal itu lebih marak lagi ketika terjadi gesekan antara umat Islam dengan kelompok kristen HKBP di Kota Bekasi, yang sampai sekarang masih terjadi. Mestinya segenap pimpinan agama, menjaga diri, sebab di tanah yang majemuk ini, setiap ekspresi kebudayaan mesti diberi tempat dan dihormati. Kelompok mayoritas menghormati minoritas, demikian juga kelompok minoritas menghormati kelompok mayotitas.

Dalam masyarakat majemuk, tradisi keagamaan perlu ditafsirkan kembali agar tetap relevan dan sesuai dengan alam sosial dan lingkungan. Tidak bisa ajaran agama diterapkan secara mentah mentah, tanpa melihat kondisi lingkungan sosial.

Saat ini fundamentalisme muncul di mana-mana, baik di kristen, Islam, Yahudi, Hindu Budha dan sebagainya, yang mau menerapkan agama sesuai dengan dotrin aslinya secara ortodoks. Ini yang banyak menimbulkan ketegangan. Islam misalnya di bawa para wali ke Indonesia beradaptasi dengan lingkungan sosial budaya, sehingga diterima secara luas. Strategi kebudayaan para wali ini yang perlu diteruskan, tidak hanya akalangan Islam tetapi juga agama yang lain, sehingga kehidupan bisa berlangsung damai.

Itu dari segi dogma dan budaya. Tapi ada satu hal yang selama ini diabaikan oleh para aktivis sosial ketika menyelesaiakn soal hubungan antara agama, yaitu soal kemiskinan dan soal keadilan sosial. Konflik agama lebih banyak dipicu oleh persoalan ini, ketimbang murni perbedaan ajaran. Soal ajaran, dari sananya memang sudah berbeda. Kenapa saat ini dijadikan alasan untuk bertengkar?

Sebab,ada ketidakaadilan sosial yang dialami mereka. Bahkan di beberapa tempat, konflik yang diberi lebel konflik antara agama dan kemudian diwujudkan dalam konflik antara agama, itu sebenarnya konflik perebutan lahan ekonomi.

Celakanya sumber konflik semacam itu selalu lolos dari perhatian kalangan aktivis kerukunan beragama. Setiap terjadi konflik, yang seolah antara agama, mereka hanya membuka kitab suci dan undang-undang atau peraturan pemerintah. Akhirnya karena sumber konflik tidak pernah diselesaikan, hanya implikasinya yang diatasi. Maka konflik hampir tidak pernah selesai. Sementara segregasi sosial berdasarkan agama seperti di Ambon dan Poso terlanjur terjadi dan silit direkonsiliasi.

Kelemahan para aktivis kerukunan dan aktivis hak asasi manusia adalah ketidakmampuannya atau bahkan kebutaannya terhadap kenyataan ini. Kebutaan itu sudah sedemikian akut sehingga susah disembuhkan, sehingga tidak sedikit kalangan yang menuduh mereka sebagai kelompok yang sengaja menyembunyikan kenyataan, yaitu perluasan kapital, soal ketidakadilan sosial, karena yang disalahkan hanya ajaran agama, atau pemahaman mereka terhadap agama.

Kekuatan kelompok luar untuk memprovokasi sama sekali tidak terdeteksi. Penyebabnya, mereka menggunakan teori ilmiah yang menolak segala pandangan konspirasi, sehingga adanya konspirasi besar itu dibiarkan, karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip ilmiah, maka diabaikan bahkan dianggap tidak ada. Akhirnya gerakan yang berlevel nasional itu pekerjaanya hanya mencatat dan meratap. Padahal prinsip divide et impera sangat menonjol dalam keseluruhan peristiwa ini.

NU sebagai organisasi yang sudah lama tentunya sangat berpengalaman menghadapi berbagai konflik sosial seperti itu. Karena itu, NU memiliki cara sendiri untuk mendekatinya. Hanya saja kalangan aktivis mudanya yang terkena doktrin kerukunan artifisial itu menjadi ikut buta terhadap realitas dan ikut melibatakan diri dalam melestarikan konflik, dengan dalih mengatasi konflik.

Kalangan ulama sudah tahu dan berpengalaman menghadapi semua ini, karena itu harus diselesaikan melalui pokok soalnya. Kalau pokoknya soal budaya, mak diselesaikan secara budaya, kalau pokok soalnya masalah ajaran agama diselesaikan secara agama. Begitu juga jika persoalannya di bidang ekonomi politik, ya harus dibicarakan terbuka sesuai dengan problem ekonomi politik yang sebenarnya terjadi.

Penyelesaian seperti ini memang agak susah, karena spektrumnya sangat luas dan harus berhadapan dengan korporasi besar. Kalau dihadapi secara agama akan jauh lebih mudah, tinggal menyalahkan ayat suci, atau menyalahkan tokoh agama, termasuk kiai. Ketidakmampuan menghadapai tantangan besar korporasi ini akan menyebabkan konflik antara agama terus terjadi, karena  agama akan terus dijadikan pemicu paling mudah untuk mengembangkan investasi.

Faktor ini yang penting diperhatikan oleh para aktivis kerukunan. Kalau tidak, organisasi kerukunan hanya akan menjadi balsem, obat gosok yang hanya menyembuhkan gejala sementara. 'Balsem' tidak menyembuhkan sumber penyakit yang sesungguhnya, yaitu soal keserakahan kapital dan ketidakadilan sosial. Inilah yang menjerumuskan rakyat ke jurang kemarahan. Saat itu agama menjadi dan dijadikan bahan bakar untuk menciptakan konflik, agar investasi dan perluasan bisnis berjalan lancar. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait