Risalah Redaksi

Kecintaan pada Dunia yang Semakin Merajalela

Sabtu, 15 Oktober 2016 | 13:28 WIB

Baru-baru ini kita diramaikan dengan munculnya kasus penggandaan uang. Drama yang menjadi bumbu dari kasus tersebut adalah adanya seorang intelektual kawakan yang membela dukun pengganda uang tersebut, meskipun sejumlah bukti telah menunjukkan apa yang dilakukan merupakan penipuan, bukan karamah atau sesuatu yang datang dari Allah.

Ada banyak pelajaran yang menjadi hikmah dari peristiwa tersebut. Berusaha menjadi kaya boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan oleh agama karena dengan memiliki harta, kita bisa melakukan banyak hal yang bermanfaat bagi sesama. Yang tidak boleh adalah cinta dunia. Seharusnya, ukuran keberhasilan bukanlah melulu uang. Bagi pengusaha, pantas jika keberhasilannya diukur dari kekayaan yang dimiliki, bagi intelektual, seharusnya adalah karya ilmiah atau temuan-temuan untuk kemajuan peradaban. Bagi pejabat, keberhasilan adalah kemampuannya mensejahterakan rakyat. Setiap profesi memiliki puncak keberhasilan, tetapi tidak semuanya dapat diukur dalam bentuk materi.

Sayangnya saat ini, materialisme menjadi semakin menggurita. Sebagian besar tujuan hidup diarahkan untuk mencapai kesuksesan materi. Menjadi pejabat belum dikatakan sukses jika belum memiliki rumah mewah, menjadi ustadz belum berhasil jika tidak bermobil bagus. Menjadi seniman belum diakui jika karyanya belum terjual mahal. Bagi intelektual, pencapaian adalah ketika karyanya bisa dimaterialkan dalam bentuk uang. Ilmu, jabatan, karya seni, dan lainnya kini sekedar perantara menuju kekayaan materi yang merupakan ukuran puncak kesuksesan.

Lingkungan memang semakin mendorong kita untuk mengagungkan materi. Sektor industri dan jasa yang hanya bisa untung jika mereka mampu menjual produk dan jasanya. Karena itu, mereka berusaha keras agar semua orang membeli barang dan jasanya. Tak penting, sebenarnya apa yang dijual tersebut diperlukan atau tidak. Yang dijual adalah gaya hidup, bukan kebutuhan hidup karena kebutuhan hidup itu terbatas, sedangkan gaya hidup itu tak ada batasnya. Selalu ada yang lebih baru, lebih mewah, lebih canggih, dan seperangkat bujukan lain untuk memuaskan dahaga akan pengakuan diri di hadapan orang lain.

Produsen membuat iklan, jika sudah membeli produk tertentu, hidupnya akan lebih enak, lebih mudah, lebih bahagia. Bagi yang tidak membeli barang atau jasa terbaru, akan diciptakan kesan ketinggalan jaman, tidak gaul, tidak berkelas dan atribut-atribut lainnya yang mengekskulasi orang tersebut dari kehidupan sosialnya. Akibat serbuan pesan-pesan materialisme yang tidak berkesudahan di berbagai ruang tersebut, tanpa sadar banyak diantara kita yang kemudian meyakini bahwa pesan iklan tersebut benar. Jika calon konsumen tidak punya uang, produsen memfasilitasi dengan utang yang bisa dicicil, yang akhirnya menjadi beban hidup jangka panjang.

Akibatnya, banyak diantara kita terjebak dalam pengejaran gaya hidup agar eksistensinya dianggap ada oleh lingkungan sekitarnya. Kerja keras dilakukan semata-mata untuk memenuhi kepuasan materi. Sisi substansi hidup untuk mengejar sesuatu yang lebih bermakna seperti membantu sesama, memajukan peradaban, menjaga kelestarian alam, atau tujuan transendental lainnya sudah kabur tersita oleh kesibukan sehari-hari yang tak ada habisnya guna mencari harta.

Bagi mereka yang tidak beruntung, tontonan di TV yang menonjolkan kemewahan, tetangga kanan-kiri yang pamer harta benda atau tuntutan dari keluarga yang minta ini-itu yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan menjadi beban psikologis. Akhirnya berbagai cara dilakukan seperti pencurian, penipuan, bahkan kalau perlu menjual diri. Cara instan lainnya, ya, penggandaan uang. Bagi mereka yang memiliki kuasa, korupsi dan penyalahgunaan wewenang sudah menjadi hal yang umum karena keserakahan itu tiada batasnya. Pada akhirnya, harmoni sosial hilang, masyarakat sudah tidak percaya lagi pada sesama. Para pemimpin juga sudah tidak bisa menjadi teladan.

Hedonisme dalam taraf tertentu bukanlah fenomena baru. Sejak zaman Rasulullah, hal tersebut sudah berlangsung seperti kisah Tsa’labah yang sangat mencintai hartanya sampai melupakan kewajibannya membayar zakat. Saat kebesaran Islam, hal tersebut juga terjadi. Sebagai antitesisnya, muncullah kelompok sufi yang meninggalkan dunia dan memfokuskan diri pada tujuan-tujuan ukhrawi.

Agama mengajarkan hidup zuhud. Memiliki dunia boleh-boleh saja, tetapi ketika itu menjadi tujuan hidup, bukan sarana untuk bisa hidup, untuk menopang tujuan hidup yang sebenarnya, maka ini akan menjadi persoalan besar bagi kehidupan bersama. Ketika suatu masyarakat sudah memiliki kecintaan dunia, maka tinggal tunggu waktu saja untuk kehancurannya. (Mukafi Niam)


Terkait