Risalah Redaksi

Ketika Ulama Tidak Bersedia Lagi Menjaga Moral

Jumat, 27 Mei 2005 | 12:23 WIB

Selama ini ulama dikenal sebagai kelompok penjaga moral dan pemimpin spiritual, karena itu ia mampu mengatasi semua persoalan duniawi yang penuh pergolakan dan rebutan kepentingan. Moralitas mengatasi semua kepentingan sesaat sebab lebih mengutamakan kehidupan keseluruhan masyarakat untuk jangka panjang. Dengan sikap dan peran semacam itu ulama atau kiai bisa menjadi panutan semua orang, yang perilakunya menjadi teladan.
Tetapi belakangan ini, ketika dwifungsi kiai semakin  marak tak terkendali, maka dengan sendirinya para kiai tidak lagi menempati maqam (posisinya) sebagai moral force,   melainkan telah berperan sebagai pelaku politik. Kalau selama ini politik Indonesia bergelimang dengan Lumpur korupsi dan  politik uang. Sehingga satu persatu para politisi dimasukkan penjara, maka setiap yang berbaur ke sana akan terkena limbahnya, baik sebagai pendorong atau penadah. Dengan demikian kiai tidak bisa lagi berdiri sebagai panutan semua kalangan, tetapi telah menjadi pendukung pihak tertentu.


Lebih celaka lagi kalau dukungan tersebut tidak ditetapkan  berdasarkan pilihan moral yang benar, melainkan berdasarkan atas kepentingan pribadi untuk memperoleh keuntungan jabatan dan materi. Tampaknya kekisruhan di kalangan kiai belakangaan ini lebih dimotivasi oleh urusan yang bersifat pribadi dan materi. Sebab tidak kelihatan argumen moral yang meyakinkan, atau alasan yang memadai.

<>


Bukan tidak boleh kiai berpolitik, tetapi ketika memasuki dunia itu mereka harus menangggalkan jubah kekiaiannya, biar bisa duduk setara dengan pimpinan politik yang lain, biar bisa dikritik dan dikontrol. Kalau kotor biar orangnya saja, tidak mencemari lembaganya. Sebab kalau tidak akan terjadi monopoli kekuasaan. Karena dalam dunia politik sekarang ini dibutuhkan adanya transparansi serta pengawasan, agar tidak terjadi penyimpangan. Sementara tidak mungkin seorang kiai begitu mudah melepas jubah kekiaiannya. Dengan demikian menghindari dunia politik lebih dianjurkan oleh para pimpinan NU.

Harapan yang diserukan PBNU tersebut memang layak diperhatikan sebab kalau tidak, maka akan terjadi seperti sekarang ini, bagaimana para kiai sepuh begitu gampang dimobilisir untuk menolak atau mendukung calon partai politik tertentu. Akibatnya para kiai berbondong-bondong melakukan manuver politik di satu tempat  lalau berpindah lagi ke tempat yang lain terus-menerus tak kenal lelah, yang semakin menambah semerawutnya keadaan.


Sementara di tempat lain umat terlantar, mereka pada melakukan tindakan kriminal karena tidak bisa makan, bahkan banyak yang melakukan bunuh diri karena tidak mampu menahan derita hidup yang semakin membebani. Selain itu masyarakat dikagetkan dengan isu kelaparan yang mengakibatkan terjadinya busung lapar. Semuanya itu dianggap berita yang terjadi di dunia sana, sementara kiai masih sibuk dengan safari politiknya.


Masyarakat masih mengharapkan adanya ulama pewaris Nabi, yang berjiwa besar, luas pandangan, berkepala dingin berhati sejuk. Bukan ulama berkepala panas, mudah diprovokasi, mudah dimobilisasi seperti sekarang ini, yang mengakibatkan kegaduhan politik di mana-mana. Konflik semakin meluas dengan keterlibatan para tokoh masyarakat ini.  Maka peran mereka bukan menengahi dan mendamaikan ketegangan umat, sebaliknya malah memperbesar pertikaian.


Kalau dulu kiai sebagai aktor penyelamat atau pelindung masyarakat dan pembimbing umat, tetapi rupanya sekarang sudah terjadi pergeseran peran, mereka telah menjadi aparat politik yang tidak lagi mau mengemban peran keagamaan. Memang bidang ini tidak menguntungkan secara material, sementara dunia politik sangat jelas hasilnya, kekuasaan dan uang. Ternyata tingal sedikit ulama atau kiai yang istiqomah memegangi amanah, peran dan fungsinya. Yang sedikit itu diharapkan bisa memperbaiki moralitas umat. Tidak disibukkan dengan hiruk pikuk, baris-baris, berbondong-bondong sebagai supporter politik. Tetapi kiai yang mampu dengan penuh integritas melakukan perbaikan moral bangsa yang sedang dilanda krisi yang hampir tak teratasi ini.
(Munim DZ)


Terkait