Risalah Redaksi

Komite Hejaz II

Kamis, 21 Juli 2005 | 09:57 WIB

Ketika kelompok pemberontak Wahabi berhasil merebut Kota suci Mekah 1924 kemudian dilanjutkan dengan Penaklukan Madinah pada 1925 berbagai tindakan pemerintahan Wahabi dibawah pimpinan Raja Abdul Aziz Ibnu Saud yang esktrem,  berbagai tindakan brutal  seperti penghancuran makam para syuhada, para sahabat bahkan makam Nabi sendiri akan diratakan dengan Tanah. Alasannaya sederhana karena tempat semacam itu dianggap sebagai sumber kemusyrikan. Selain itu berusaha menghapus seluruh aliran Islam yang ada di Mekah yang berpusat di Masjidil Haram itu dan menggantinya dengan aliran tunggal Wahabi.

Tindakan tersebut mendapat dukungan kuat dari kelompok modernis sedunia termasuk Indonesia, seperti kalangan Muhammadiyah, Irsyad, Sarekat Islam dan sebagainya. Tetapi mendapat tantangan dari kalangan kalangan Sunni Syafii dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Kalangan Sunni Indonesia yang paling menonjol diwakili oleh Kiai Wahab Hasbullah yang kemudian membentuk Komite Hejaz untuk membela kebebasan bermazhab di kota suci itu.Karena banyak kalangan Sunni yang menjadi korban keganasan Raja Wahabi tersebut.

<>

Saat itu memang ribuan mukimin dari seluruh dunia diusir, pengajaran agama selain Wahabi dilarang, sehingga pengajaran agama dengan mazhab lain dilakukan dengan cara bersembunyi. Melihat kenyataan itu maka kalangan ulama pesantren Indonesian berjuang keras untuk membangun kebebasan beragama, dan membela seluruh kaum Sunni, kaum bermazhab dari serangan Wahabi yang garang. Semua aliran di luar dirinya dianggap sesat.

Akibat perjuangan NU serta perlawanan kaum Sunni sedunia itu akhirnya kebebasan bermazhab kembali diberlakukan, makam Nabi bisa diselamatkan, walaupun berbagai pembatasan terhadap amaliah Islam tetap dilakukan, seperti dalam melakukan ziarah. Tetapi kondisi umat Islam yang berhaji relatif tenang. Tetapi 80 tahun kemudian, ketenangan umat Islam kembali terusik ketika pemerintah Wahabi berencana mengempur situs bersejarah, yakni rumah Nabi Muhammad SAW, tidak untuk dibangun mesjid, tetapi hanya digunakan untuk membangun hotel, apartemen dan tempat parkir. Sungguh nista, agama tanpa adab, isu kemusyrikan hanya dijadikan dalih para pangeran untuk investasi dan  mengeruk kekayaan di kawasan suci itu.

Atas kejadian yang tidak beradab seperti itu anehnya dunia beradab diam. Dulu ketika kelompok Taliban di Afghanistan hendak menghancurkan kuil dan patung Budha, secara serentak masyarakat dunia yang disponsori Unesco melakukan protes keras. Tetapi anehnya ketika warisan peradaban dunia yang sama dihancurkan oleh kelompok Islam Radikal Wahabi mereka diam saja. Amerika yang menguasasi Saudi Arabia, tampaknya juga tidak ambil peduli terhadap ulah sekutunya yang ekstrem itu. Karena mereka juga berkepentingan, dengan hilangnya situs sejarah itu dianggap akan hilang pula mata rantai sejarah Islam yang paling penting.

Dengan hilangnya bukti sejarah itu bisa saja dibelokkan bahwa sebenarnya Nabi Muhammad hanya tokoh fiktif, bukan tokoh sejarah, karena tidak ada bukti histories yang memperkuat kehadirannya. Lalu berbagai pemaknaan berdasarkan hermeneutika modern digunakan sebagai alat melihat masalah. Berbagai pandangan secular dan analisi muncul, tetapi tanpa ada bukti histories, lalu Nabi akan dinafikan. Langkah itu sangat berbahaya, karena itu bagi yang mengerti sejarah mestinya mencegah langkah brutal tersebut.

Melihat kenyataan itu umat Islam terutama NU mesti mengambil tindakan, kalau dulu NU lahir antara lain didorong untuk membela kebebasan bermazhab serta menyelamatkan sejarah Islam khususnya sejarah Nabi melalui pemebentukan Komite Hijaz tahun 1926. Maka saat ini NU mestinya melangkah untuk membentuk Komite Hejaz II untuk menyelamatkan sejarah Nabi yang Agung. Ini tidak hanya merupakan tugas agama, yakni memulyakan Sang Nabi, tapi juga tugas sejarah, yakni menyelamatkan sumber dan bukti sejarah, bahwa Nabi Muhammad bukan tokoh fiktif, bukan mitos tetapi tokoh sejarah. Dan ini juga tigas budaya yakni menyelamatkan sumber budaya, sebab Nabi lahir untuk menegakkan budi pekerti manusia yang luhur. Tidak hanya untuk umat Islam tetapi untuk manusia se dunia. (munim dz)


 


Terkait