Tak terasa sudah 59 Tahun Republik ini berdiri, pertanyaan apakah kita sudah benar-benar merdeka, merdeka dari segala kesewenang-wenangan dan praktik penindasan oleh penguasa dominan, sebagai warga negara yang merdeka, berdiri dan duduk setara. Inilah pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus selalu direfleksi tiap perayaan kemerdekaan. Banyak orang terjebak merayakan kemerdekaan sebagai ritual tanpa makna.Terjebak bentuk–bentuk perayaan tapi kehilangan substansi. Berbagai ritual seperti, upacara bendera, pawai, panjat pinang memanglah perlu tetapi bukan utama. Yang utama adalah memaknai arti kemerdekaan bagi jalan pembebasan.
Kemerdekaan berarti pembebasan, selama kebebasan itu belum diterima maka nilai kemerdekaan masih bisa ditakar kadar kemurniaannya. kemerdekaan berarti juga pengakuan terhadap kesetaraan sesama manusia. Apakah kita telah setara dalam kedudukan baik sesama warga negara maupun didepan penyelenggara negara. Kemerdekaan juga ekspresi tindakan keadilan, perlakuan yang sama kepada siapapun tanpa memandang posisi sosialnya. Nilai kemerdekaan itu sekarang bisa dirasakan, bahkan bisa dilihat secara kasat mata, semuanya seolah kontras, dengan nilai kemerdekaan yang sesungguhnya.
<>Seringkali dalam perayaan kemerdekaan para pemimpin menuntut rakyat untuk berefleksi, namun mereka alpa, sesungguhnya yang paling harus berefleksi adalah mereka sendiri. Karena merekalah sesungguhnya yang memegang amanat kemerdekaan Sudahkah sebagai pemimpin menjalankan amanat kemerdekaan dengan baik. Tidak bijak bila hanya menyuruh rakyat berefleksi, bukankah rakyat telah berdarah-darah mempertahankan kemerdekaan ini. Bahkan untuk setiap kali perubahan kepemimpinan rakyat harus berkorban?.
Kemerdekaan juga berarti memperjelas tiap-tiap urusan, mana urusan rakyat dan mana urusan pemerintah. Pemerintah seringkali mencampuradukkan berbabagai urusan. Urusan rakyat sering diintervensi, sementara mereka sering kali tidak beres menyelesaikan urusan yang telah dimandatkan, atau bahkan mereka tidak tahu apa saja sesungguhnya urusan mereka. Di sinilah seringkali para pemimpin kita salah letak, termasuk ketika mereka diberi kepercayaan untuk memimpin negeri ini. Karena salah meletakkan urusan bisa jadi akan menciptakan malapateka bagi perjalanan kemerdekaan suatu bangsa.
Soekarno, Hatta, Syahrir dan para founding father yang lainnya memperjuangkan kemerdekaan adalah dalam rangka penghargaan martabat manusia, bahwa manusia dimuka bumi adalah sama. Manusia tidak bisa dibedakan berdesakan warna kulit dan tingkatan ekonomi. Oleh karena tindakan mengeksploitasi manusia oleh manusia lainnya, atas nama keunggulan pikiran dan peradaban tidak bisa dibenarkan, haruslah ditolak. Semangat para founding father itulaha yang seharusnya dipegang teguh oleh para pemimpin kita, semangat untuk memperjuangkan martabat kemanusiaan sebuah bangsa. Bila semangat ini telah diresapi maka tidak akan ada lagi seorang TKW yang disiksa, diperkosa, dilecehkan oleh sanga majikan diluar negeri. Tidak ada lagi pengusiran besar-besaran para TKI dari negeri lain, hanya dengan alasan pendatang gelap. Bahkan semestinya tidak perlu lagi warga kita berbondong-bondong berhamburan mencari kerja dinegeri orang, karena cukupnya lapangan kerja di dalam negeri.
Usia kemerdekaan republik ini, cukuplah tua untuk penataan landasan sebuah bangsa. Kita sudah mengalami berbagai tragedi berbangsa, cukuplah tragedi yang ada menjadi mata pelajaran yang harus dipetik mendalam oleh para pemimpin kita sekarang. Janganlah mengulangi kembali satu tindakan bodoh yang akan dicaci oleh masyarakat dibelahan dunia. Apalagi masuknya bangsa Indonesia sebagai komunitas rumpun desa dunia (global village) mau tidak mau, semua tindakan yang dilakukan haruslah mencerminkan nilai universal yaitu demokrasi dan penghargaan pada hak asasi.(AA)