Risalah Redaksi

Memikir Ulang Kurikulum Pesantren Salaf

Jumat, 5 Agustus 2016 | 08:29 WIB

Syawal merupakan bulan dimulainya aktifitas di pesantren salaf. Setelah libur selama sebulan penuh dari aktifitas pesantren, khususnya bagi yang tidak ikut ngaji posoan, para santri kembali menelaah kitab-kitabnya, termasuk para santri baru yang mulai belajar dan mengenal kehidupan pesantren. Berbeda dengan sekolah umum yang jadwal kegiatannya ditentukan berdasarkan bulan Masehi, seluruh aktifitas pesantren salaf mengikuti penanggalan Hijriah. Awal tahun ajaran pada bulan Syawal, libur pertengahan tahun pada bulan Maulid, dan tahun ajaran berakhir menjelang bulan puasa, yang disebut imtihan.

Sejauh ini, pesantren telah teruji oleh zaman akan kemampuannya untuk terus memberi pencerahan dan pendidikan Islam kepada masyarakat. Jika dulu pesantren hanya berupa pondok-pondok sederhana dengan metode pengajaran yang sederhana pula, kini pesantren telah bertransformasi dengan berbagai unit pendidikan. Beberapa pesantren besar memiliki beragam unit pendidikan seperti unit pengajian salaf, madrasah diniyah, PAUD, bahkan sudah mulai banyak yang pendirikan perguruan tinggi. Unit pesantren salaf inilah yang tetap konsisten menggunakan kitab kuning sebagai materi pengajaran.

Melalui pesantrenlah Indonesia ini bisa menjadi negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pada masa lalu, setelah dianggap mumpuni dan lulus dari pesantren, para santri mencari daerah-daerah baru untuk berdakwah. Hal inilah yang dilakukan oleh KH Hasyim Asyari yang membuka pesantren di Tebuireng yang konon waktu itu merupakan sarang kemaksiatan. Kisah-kisah seperti itu jamak ketika kita membaca biografi para ulama besar di Nusantara. Kelompok santri, yaitu mereka yang memahami ajaran Islam secara mendalam dan melaksanakan ajaran Islam dengan baik, mampu mewarnai eksistensi perjalanan bangsa ini dengan baik. Seiring dengan tumbuhnya kelas menengah dari kelompok santri, peran tersebut kini semakin membesar. Tak susah untuk menemukan pejabat tinggi negara yang akrab bicara tentang kitab kuning. Kalangan pesantren juga merambah berbagai bidang yang terkait dengan dunia usaha, sains dan teknologi, dan bidang-bidang lain yang dulu masih jarang ditekuni.

Materi yang diajarkan di pesantren salaf sejauh ini  masih didasarkan pada kitab-kitab kuning atau kitab klasik yang ditulis oleh para ulama besar dunia Islam ratusan tahun lalu. Dengan cepatnya perkembangan kondisi masyarakat yang tentunya sudah jauh berbeda saat kitab-kitab tersebut ditulis, tentu menjadi relevan untuk memikirkan ulang apakah perlu adanya perubahan kurikulum di lingkungan pesantren. Ini persoalan sangat penting karena para santri di pesantren salaf diharapkan mampu menjadi ulama yang menjadi panutan masyarakat. Kondisi ini berbeda dengan para santri yang belajar mengaji sambil sekolah umum dalam lingkup pesantren, yang orientasinya lebih pada pemahaman agama secukupnya untuk amalan individu, sementara mereka memproyeksikan diri untuk menggeluti bidang kehidupan lain.

Selama ini penentuan kurikulum di pesantren bersifat mandiri. Antara satu pesantren dengan pesantren lainnya berbeda. Tetapi biasanya, kurikulum yang dipakai mengikuti atau dari modifikasi yang dilakukan ketika pengasuh pesantren tersebut nyantri. Jika kiainya lulusan pesantren Lirboyo atau Tebuireng, maka kurikulum pesantren yang diasuhnya juga tak jauh-jauh pesantren tersebut. Jadi dalam tingkat tertentu ada keseragaman pada kitab-kitab yang dikaji. Selama beberapa puluh tahun terakhir, kitab yang dikaji tidak banyak berubah. Untuk bidang fiqih, maka digunakan Sullam Taufiq, untuk materi nahwu-sharaf, digunakan Imriti atau Alfiyah untuk tingkat lanjutnya sedangkan untuk materi tafsir, digunakan Tafsir Jalalain

Kesetiaan pesantren untuk tetap menggunakan materi tersebut karena adanya keyakinan bahwa kitab-kitab tersebut memiliki berkah karena para pengarangnya memiliki keikhlasan yang tinggi guna menyebarkan ilmunya. Tingkat keikhlasan ini dinilai berbeda atas kitab-kitab putih, untuk menyebut buku yang ditulis oleh ulama masa kini, di mana para penulisnya dinilai memiliki motif-motif tertentu seperti keinginan untuk mencari popularitas atau mendapatkan keuntungan dari penjualan buku tersebut. Akibatnya, kitab-kitab baru tersebut keberkahannya dianggap kurang.

Tentu saja hal tersebut harus menjadi pertimbangan, tetapi kebutuhan santri ketika akan bermasyarakat juga harus menjadi perhatian utama bagi pesantren. Untuk menghatamkan Alfiyah, seorang santri harus menghafalkan 1000 bait syair, yang bisa memerlukan waktu yang panjang sementara tuntutan kekinian membutuhkan metodologi pembelajaran yang efektif dan efisien dari sisi waktu. Maka lahirlah metode Amsilati dan sejumlah metode lain yang mirip yang mampu mengajarkan tata bahasa Arab secara cepat, tetapi banyak pesantren masih menggunakan kitab klasik dengan alasan keberkahan tersebut. 

Tafsir tentang perempuan yang ada dalam berbagai kitab kuning juga menjadi tantangan besar dalam konteks kehidupan sosial saat ini. Tentu saja saat kitab tersebut ditulis, kondisi sosial, ekonomi, pendidikan, keamanan, dan lainnya berbeda jauh dengan keadaan saat ini. Belum lagi ketika mempertimbangkan faktor budaya dan kondisi  alam antara Indonesia dan Timur Tengah di mana kitab-kitab tersebut di tulis. Pada abad pertengahan, perempuan tidak memiliki kesempatan mengenyam pendidikan, kondisi  lingkungan yang tidak aman, dan sejumlah tantangan lain yang menghambat kemajuannya. Institusi negara yang kuat dan stabil juga telah mampu menjaga keamanan relatif baik dibandingkan dengan abad pertengahan. Saat ini perempuan memiliki kesempatan meraih pendidikan tinggi, yang dari situ membuka kesempatan menjadi pemimpin berbagai institusi negara atau mengelola lembaga-lembaga yang memiliki peran penting dalam masyarakat. Dengan demikian perempuan harus keluar rumah untuk bisa menjalankan berbagai aktifitas tersebut atau melakukan berbagai aktifitas yang tidak terbayangkan dilakukan oleh para perempuan abad pertengahan. Tafsir klasik menempatkan perempuan harus tinggal di dalam rumah atau jika ingin keluar rumah harus disertai dengan muhrim yang menemaninya menjadi pertanyaan akan kontekstualitasnya saat ini. Ada jarak yang jauh dari apa yang diajarkan dan realitas yang dijalani dalam kehidupan sehari-hari.

Demikian juga dalam hal tafsir agama terhadap perilaku ekonomi. Dalam kitab klasik, yang wajib dibayar zakatnya hanya hasil-hasil pertanian tertentu saja karena basis ekonomi masyarakat saat itu memang pertanian. Saat ini, ketika basis ekonomi sudah beralih ke sektor industri atau jasa sementara sektor pertanian kontribusinya sudah sangat berkurang maka perlu ada tafsir baru tentang pembayaran zakat. Jika yang digunakan referensi adalah kitab klasik untuk menentukan pembayaran zakat, maka profesi-profesi saat ini dengan gaji besar tidak ada kewajiban membayar zakat, sedangkan sektor pertanian yang kini merupakan profesi marginal, diwajibkan membayar zakat. Ini tentu sebuah ketidakadilan. 

Jika Imam Syafii semasa hidupnya saja memiliki kaul jadid dan kaul kadim karena ia melihat adanya perubahan kondisi sosial, tentu menjadi sangat relevan untuk memperbaharui kurikulum di pesantren karena pesantren juga harus melayani masyarakat, maka pesantren harus benar-benar memahami masyarakat, bukan hanya saat ini saja, tetapi mengantisipasi perubahan masyarakat di masa mendatang dan menyiapkan para santri sebagai pemandu masyarakat dalam bidang keagamaan dalam perubahan tersebut. 

Di sini, Rabithal Ma’ahid Islamiyah (RMI) lah yang paling pas mendampingi. Banyak pula para intelektual NU yang sudah mengglobal dan mengetahui berbagai praktik pengajaran Islam di berbagai negara Muslim. Kita dapat mengambil praktik-praktik terbaik dari berbagai negara untuk diaplikasikan di pesantren. Kita berharap pesantren bukan hanya mampu bertahan dalam kehidupan, tetapi mampu mewarnai peradaban Muslim di masa mendatang. (Mukafi Niam) 


Terkait