Risalah Redaksi

Memulihkan Lombok, Memulihkan Kemanusiaan

Jumat, 24 Agustus 2018 | 02:00 WIB

Memulihkan Lombok, Memulihkan Kemanusiaan

Ilustrasi: Tim Medis NU Peduli Kemanusiaan

Gempa besar terjadi berturut-turut sampai tiga kali dalam beberapa waktu terakhir di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Upaya pemulihan yang dilakukan setelah gempa besar pertama dan kedua, kembali runtuh dengan terjadinya gempa besar selanjutnya. Biasanya bencana gempa besar yang terjadi di Indonesia adalah, satu kali gempa besar tetapi tidak diikuti dengan gempa susulan yang sama atau lebih besar. Tak ada kepastian apakah ini gempa besar terakhir pada 19 Agustus lalu akan terulang, namun kejadian ini telah menyebabkan penderitaan yang dialami para korban semakin besar. Apa pun yang terjadi, upaya-upaya pemulihan harus terus dilakukan. 

Indonesia merupakan negara yang rawan gempa karena terletak dalam daerah cincin api, yaitu wilayah di cekungan Samudra Pasifik yang sering mengalami gempa dan letusan gunung berapi. Bahkan Indonesia berada dalam jalur paling aktif dari cincin api tersebut. Tak heran, sejak dahulu wilayah Nusantara sering mengalami gempa. Bencana gempa dalam skala besar setelah tahun 2000 saja telah terjadi di sejumlah daerah antara lain Aceh, Nias, Padang, Bengkulu, Yogyakarta, Ciamis, dan lainnya. Gempa yang kemudian disertai tsunami di Aceh menimbulkan korban paling besar. Lebih dari 230 ribu korban meninggal atau hilang. Triliunan aset rusak berat. Butuh upaya bersama dari semua pihak untuk melakukan rekonstruksi sehingga korban keadaan pulih. 

Desain pemulihan pascabencana yang terjadi di Lombok awalnya mengikuti pola penanganan yang terjadi di tempat lain sebelumnya, yaitu satu gempa besar yang segera selesai, kemudian diiringi gempa-tempa kecil yang besarannya tak terlalu signifikan. Dan demi alasan mempertahankan sektor pariwisata yang kini proporsinya semakin besar dalam perekonomian NTB, status bencana tersebut ditetapkan sebagai bencana lokal. Tiga kali bencana besar membuktikan skenario penanganan awal tidak sesuai dengan keadaan. Rencana baru harus segera disusun agar para korban segera pulih. Status bencana nasional baru diputuskan pada Kamis (23/8).

Pemerintah, lembaga-lembaga kemanusiaan, dan masyarakat yang tidak terdampak bencana bahu-membahu menyingsingkan lengan baju agar mereka yang menjadi korban segera mendapatkan pertolongan sebaik-baiknya. Tanpa dikomando, begitu gempa besar terjadi, masyarakat dengan segera mengumpulkan bantuan untuk korban bencana. Media yang melaporkan secara terus-menerus dari lokasi kejadian membuat empati meningkat sehingga mendorong mereka untuk memberikan sumbangan. 

Perayaan Idul Kurban dengan semangat untuk berbagi menjadi saat yang tepat ketika ada saudara kita di Lombok membutuhkan dukungan untuk memulihkan diri dari bencana yang terus-menerus datang. Saatnya bertindak. Seberapa pun jumlah sumbangan yang bisa kita berikan, jika diakumulasikan dengan jutaan orang lainnya di Indonesia atau belahan dunia lainnya, akan memberi dampak yang signifikan dalam upaya pemulihan tersebut.

Nahdlatul Ulama melalui NU Care-LAZISNU (Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah) dan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI NU) dan didukung oleh perangkat organisasi NU lainnya seperti GP Ansor, Fatayat NU, IPNU-IPPNU, Ma’arif NU dan lainnya telah terjun secara langsung ke lokasi-lokasi bencana, berkoordinasi dengan pemerintah setempat dan bekerja sama dengan kepengurusan NU di sana. Mereka terus memberikan bantuan dan dukungan dalam berbagai bentuk. Ini merupakan bagian dari tanggung jawab NU untuk membantu mereka yang mengalami bencana. 

Sementara itu, tim relawan dari lembaga-lembaga kemanusiaan yang sudah terlatih diterjunkan ke lokasi-lokasi paling parah yang diakibatkan gempa. Munculnya lembaga-lembaga kemanusiaan profesional ini merupakan berkah dari era keterbukaan di Indonesia. Mereka dikelola dengan baik sebagai sebuah organisasi yang sifatnya permanen, bukan lembaga sementara yang dibentuk saat terjadi bencana, lalu dibubarkan ketika kondisi sudah pulih. Mereka memiliki tim yang benar-benar tahu bagaimana menangani bencana yang memang kerap terjadi di Indonesia. Standar prosedur operasi dalam penanganan bencana sudah dipahami dan jalankan dengan baik. 

Sayangnya, di tengah bencana yang membutuhkan pertolongan ini, masih saja ada yang sibuk dengan perseteruan politik. Media sosial tetap saja bising dengan unggahan bernada menyerang pihak lawan. Ujaran-ujaran seperti ini menunjukkan kurangnya simpati kepada mereka yang sedang menjadi korban. Jika ada kerabat atau kawan mereka yang turun menjadi korban, para penggembira politik di media sosial tentu akan berpikir ulang untuk membuat kebisingan. Sayangnya, kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain kurang sekali. 

Jangan pula, mengaitkan bencana dengan urusan pilihan politik yang kini mulai menghangat seiring dengan semakin dekatnya pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Menuduh pilihan politik seseorang kemudian menimbulkan bencana adalah fitnah dan kekejian kepada orang-orang yang saat ini sudah menderita. Masing-masing pilihan memiliki alasannya masing-masing. Yang penting adalah saling menghormati pilihan. Mengabaikan bencana demi perdebatan-perdebatan politik adalah tindakan yang tidak bermoral, menuduh bencana timbul karena perbedaan pilihan adalah kenistaan.

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah beredarnya informasi hoaks tentang bencana tersebut seperti gempa akan terjadi pada tanggal 26 atau pada hari minggu. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menegaskan hingga kini belum ada teknologi yang mampu meramalkan kejadian gempa dengan akurat. Masyarakat diharapkan mencari informasi resmi melalui situs bmkg.go.id. Aparat sudah semestinya bertindak pada hal-hal yang meresahkan ini. 

Bantuan dari masyarakat sangat diperlukan untuk memulihkan keadaan. Namun, hal ini juga tergantung pada sikap masyarakat dalam memulihkan dirinya sendiri. Betapapun kecilnya sumberdaya yang tersisa, tetapi jika lengan baju segera disingsingkan, mengerjakan apa saja yang bisa dilakukan, melupakan kesedihan dan menatap masa depan secara bersama-sama, maka pemulihan akan berjalan dengan cepat. 

Bencana juga membutuhkan manajemen pengelolaan yang terkoordinasi dengan baik. Dalam penanganan yang kurang baik, distribusi bantuan tidak berjalan secara merata. Ada satu lokasi yang menerima bantuan secara berlebihan tetapi di lokasi lainnya mengalami kekurangan. Ego bahwa bantuan kepada korban bisa dilakukan terserah pada lembaga masing-masing akan membuat penanganan kurang efektif.   

Sesungguhnya, manajemen bencana yang ada saat ini sudah jauh lebih bagus daripada sebelumnya. Undang-undang kebencanaan yaitu. UU Nomor 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kebencanaan menjadi panduan dalam pengelolaan bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dibentuk untuk menangani bencana. Lembaga serupa di tingkat provinsi dan kabupaten juga sudah ada. Namun, mengingat tingginya risiko bencana, perbaikan-perbaikan dalam beragam aspek mendesak untuk terus dilakukan.

Selanjutnya, kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yang seharusnya mendapat perhatian lebih. Sebagai negeri yang berada dalam posisi cincin api, bencana alam dapat terjadi kapan saja. Ilmu pengetahuan terus berkembang, tetapi kita belum mampu memprediksi kapan sebuah gempa besar akan terjadi. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah mempersiapkan diri dengan upaya terbaik saat situasi tak terduga tersebut datang.

Sejumlah upaya pencegahan akan mengurangi dampak jika bencana terjadi. Standar bangunan tahan gempa akan mengurangi tingkat kerusakan atau korban nyawa. Mengenalkan prosedur evakuasi saat gempa atau tsunami akan mengurangi kepanikan. Kearifan lokal yang banyak terdapat di berbagai daerah dalam menangani bencana layak dipertahankan, seperti sikap masyarakat di Pulau Simeuleu Aceh yang naik ke dataran tinggi ketika ada gempa disertai air laut yang surut sehingga menyelamatkan banyak nyawa. Kita juga bisa belajar dari negara-negara dalam posisi cincin api yang memiliki manajemen bencana yang baik. Jangan sampai bencana alam yang terjadi menimbulkan bencana kemanusiaan karena kita tidak mampu menanganinya dengan tepat. (Achmad Mukafi Niam)


Terkait