Risalah Redaksi

Mencermati Pengajian Kitab Kuning yang Semakin Berkurang

Sabtu, 16 April 2016 | 13:31 WIB

Dalam sebuah acara di Universitas Islam Negeri Gunung Jati Bandung Jawa Barat, baru-baru ini Menag Lukman Hakim Saifuddin menyatakan keprihatinannya mencermati hasil sebuah penelitian bahwa pengajian kitab kuning semakin berkurang di pesantren. Penelitian tersebut mengungkapkan, rata-rata hanya terdapat 13 kitab kuning yang dikaji di satu pesantren, padahal ada ribuan kitab kuning karya para ulama klasik yang layak dipelajari.

Problem ini merupakan sebagian dari problem yang dihadapi pesantren di tengah perubahan zaman yang semakin cepat. Sesungguhnya, keberadaan pesantren sebagai sumber lahirnya ulama semakin penting mengingat semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi masyarakat dan besarnya kebutuhan mereka akan bimbingan para ulama. Dengan demikian, lahirnya para ulama yang kompeten semakin krusial, apalagi di tengah-tengah masyarakat yang semakin kritis dan mampu mengakses berbagai sumber rujukan agama dari internet yang semakin mudah didapat. Penguasaan kitab kuning dan khazanah klasik Islam akhirnya menjadi sebuah keniscayaan.

Sayangnya, dengan peran yang sedemikian penting, pesantren harus berjuang sendirian untuk bisa tetap bertahan. Perguruan tinggi dan sekolah selalu mendapat subsidi yang setiap tahun nilainya mencapai trilyunan dengan berbagai bentuknya dengan alasan sebagai institusi pendidikan yang mencerdaskan bangsa, pesantren seolah-olah luput dari perhatian. Baru belakangan, mulai ada sedikit perhatian pemerintah atas nasib pesantren, itupun masih jauh dari kebutuhan yang semestinya.

Karenanya, tak heran, pesantren mengalami masalah dalam pengembangan kajian keilmuannya karena segala sesuatunya berjalan dengan fasilitas yang minim. Bisa dikatakan, apa yang dikaji di pesantren pada tahun 70-an dan sekarang, masih banyak yang sama, padahal problem dan kondisi masyarakat sudah berbeda.

Fakta di lapangan menunjukkan, lulusan pesantren lebih kompeten dalam bidang agama dibandingkan dengan lulusan perguruan tingg Islam, tetapi dikarenakan tidak ada ijazah formal yang diakui, maka lulusan pesantren susah mendapat akses. Sejauh ini, lulusan perguruan tinggi Islam memiliki nilai lebih dalam kemampuan bidang agama jika sebelumnya, mereka pernah belajar di pesantren. Ini semakin menegaskan, pendidikan formal tak dapat menggantikan pesantren dalam melahirkan ulama.

Pengembangan Mahad Ali yang setara dengan pendidikan tinggi di lingkungan pesantren akan membantu mengembalikan pesantren sebagai pusat kajian keilmuan Islam yang akan mendidik lulusannya bukan hanya menjadi pengamat atau peneliti Islam, tetapi mampu menghasilkan para ulama yang mampu terjun berdakwah di masyarakat. Sekali lagi kemampuan lulusan pesantren di masyarakat jauh lebih baik dibandingkan dengan lulusan perguruan tinggi Islam, yang kebanyakan lebih berorientasi menjadi pekerja formal. Ciri kemandirian yang benar inilah kelebihan lain yang dimiliki lulusan pesantren.

Tentu saja, keterbatasan sumber daya di pesantren harus menjadi perhatian bersama para pemangku kepentingan, bukan hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat. Selama ini, pesantren mampu bertahan karena dukungan masyarakat. Tetapi model pengembangan pendanaannya harus dikembangkan agar bisa berkelanjutan seperti dalam bentuk wakaf produktif yang dananya bisa untuk membantu operasional pesantren Pada masa lalu, belajar bisa dilakukan dengan cukup hemat biasa, saat ini, banyak kebutuhan yang harus dipenuhi untuk mendukung proses belajar yang baik. Pesantren harus tetap mengutamakan kesederhanaan, tetapi para ustadznya, disamping keikhlasan mereka mengajar, juga harus dihargai secara layak agar hidup mereka lebih baik dan ilmu mereka juga terus berkembang. Tanpa memiliki kecukupan, mereka tidak mampu membeli buku dan kitab atau memiliki waktu untuk belajar karena waktunya tersita untuk mencari nafkah. Demikian pula, pesantren tak bisa lepas dari kebutuhan teknologi informasi dan itu semua membutuhkan harus dibeli dan dirawat dengan mengeluarkan biaya yang besar. 

Menambah kajian kitab kuning memang penting, tetapi di sisi lain, pesantren juga harus terbuka terhadap kitab putih yang membahas persoalan kekinian. Dengan demikian, lulusan pesantren memiliki kekayaan khazanah klasik sekaligus tetap memahami persoalan kekinian. (Mukafi Niam)


Terkait