Jakarta, NU.Online
Ketidakamanan dunia akibat munculnya perlawanan kelompok garis keras terhadap sistem dunia yang tidak adil dengan menggunakan simbol agama, termasuk Islam, membuat kekuatan negara adidaya kewalahan, sebab ancaman tersebut bukan terdiri dari berbagai persenjataan canggih, yang segera bisa dilawan persenjataan Barat yang bergabung dengan NATO yang super canggih. Tetapi menghadapi gerakan radikal ini kecanggihan senjata hampir tak bermakna, sebab senjata yang digunakan terutama bersifat immateri, yakni berupa doktrin keagamaan yang kemudian dikemas menjadi ideologi perjuangan, yang mengutamakan kemurnian, fanatisme, militansi dan eksklusivisme. Sehinga doktrin yang diproduksi kelompok garis keras ini adalah fanatisisme kelompok, anti toleransi, menganggap yang di luar kelompoknya sebagai musuh yang harus ditaklukkan.
Bila keadaannya demikian, maka NU tidak perlu terseret pada berbagai isu atau tema pesanan yang banyak muncul belakangan ini karena NU dianggap bisa melakukan counter wacana terhadap perkembangan radikalisme Islam tersebut, karena NU punya agenda sendiri yang bersifat permanen. Sebagaimana dikatakan KH Ahmad Shiddiq bahwa NU bukan taksi yang bisa dibawa kemana-mana oleh penyewanya, melainkan sebuah kereta yang sudah tentu relnya (Khitahnya). Merujuk pada fatwa Rais Aam itu, maka NU dalam mengatasi gerakan fanatisme dan radikalisme Islam, tidak boleh hanya mengikuti cara yang digunakan belakangan yang hanya menempuh jalur pembuatan opini anti ini kontra itu. NU dengan agenda abadinya, yaitu mengembangkan sikap tawasuth, tawazun, ukhuwah dan tasamuh, merupakan prinsip dan langkah lebih mendasar dan lebih sistematis untuk menepis laju perkembangan doktrin ekslusif dan radikal.
<>Kaprah sekali terjadi, bagaimana harapan dunia terhadap peran NU untuk menanggulangi terorisme dilakukan dengan cara menggunakan cara pandang Barat atau menggunakan terminologi kaum fundamentalis sendiri, sehingga perhatian lebih difokuskan pada Islam garis keras itu sendiri, tanpa disertai pengembangan sikap toleransi, moderasi dan solidaritas antar bangsa, yang selama ini telah menjadi agenda NU, yang sudah dikaji dan dioperasionalkan selama belasan tahun terakhir. Sementara bangsa lain berharap pada NU bukan karena pengetahuannya yang mendalam tentang fundamentalisme Islam, melainkan karena konsistensinya pada sikap tawasuth, tawazun, tawamuh dan ukhuwah yang sangat luas tidak hanya terbatas pada ukhuwah Islamiyah melainkan mencapai pada ukhuwah basyariah, atau persudaraan universal.
Prinsip itu tidak hanya dijadikan slogan pergerakan, melainkan telah dijalankan dengan penuh risiko, karena itu dalam suasana genting NU selalu hadir untuk menyelaamatkan bangsa ini dari berbagai ketegangan, benturan antar kelompok dan sebagainya, ini terutama terjadi menjelang dan pasca reformasi, sehingga NU disebut sebagai bentuk civil society yang kuat dan mandiri. Tidak hanya bisa menandingi kekuatan Islam garis keras, melainkan mampu mengimbangi kekuatan negara yang hegemonik.
Apa yang dilakukan NU adalah melindungi kelompok tertindas, termasuk kelompok minoritas non Muslim. Bisa Anda ingat bagaimana ketika kelompok Islam non NU dengan gigih menyebarkan semangat untuk membakar gereja, sebaliknya beberapa kaum muda NU dengan gigih membela eksistensi agama lain, Tidak sedikit di antara mereka yang tewas karena terkena bom. Demikian juga perhadapannya dengan peradaban Barat, NU tidak termasuk kelompok yang mengobarkan permusushan Islam dengan Barat. Sebab NU bertolak dari prinsip yang jelas, bahwa sebuah kebudayaan tidak bisa dinilai dari segi asal-usulnya, melainkan hanya dinilai secara substansi dan implikasinya.
Setelah masa reformasi, di mana setiap kelompok bebas menyampaikan aspirasinya, termasuk kelompok Islam radikal yang selama ini mendapat tekanan, bisa dengan bebas mempropagandanya dengan gigih, dengan doktrin keislamannya yang fanatik, ekstrem dan tidak toleran, membuat agenda yang selama ini dijalankan NU mendapat tantangan dan menjadi kabur di masyarakat. Bahkan opini media massa sengaja atau tidak sangat mendukung gerakan Islamisasi itu, bahkan kalangan pejabat dan aparat keamanan mendukung dengan berbagai motif yang berbeda. Padahal eksperimentasi Islam radikal ini sangat berbahaya bagi kerukunan dan keutuhan bangsa ini. Sebab Islam benar-benar ditampilkan dalam bentuk pedang dan kekerasan, yang hal itu bisa disaksikan di setiap sudut jalan.
Baru ketika semua bentuk doktrin itu dioperasionalkan menjadi kekerasan yang melanda masyarakat dunia NU kembali ditoleh. Maka disinilah NU tidak boleh terseret pada tema pesanan itu, sebab kalau itu yang digarap NU akan bergerak dipermukaan, sementara NU punya metode yang cukup komprehensif yang bersifat kultural dalam menanggulangi radikalisme tersebut, sebagaimana yang telah dijalankan secara sistematis. Bisa disaksikan dalam sejarah, bahwa NU tidak pernah terlibat dalam pemberontakan manapun baik DI-TII, Komando Jihad, Jemaat Islamiyah dan sebagainya, karena semua prinsip yang mereka kembangkan bertolak belakang dengan prisip NU yang menghargai pluralitas, dan menjunjung tinggi toleransi.
Ditampilkannya Islam sebagai ideologi kekerasan dan menempatkan pesantren sebagai basis gerakan kekerasan belakangan ini, menjadikan pesantren yang selama ini dipandang sebagai sebuah subkultur yang menanamkan nilai kemanusiaan, toleransi dan persaudaraan universal, menjadi sangat tercemar, Pesantren yang selama ini bersikap moderat tiba-tiba muncul jenis pesantren baru, yang bukan merupakan subkultur NU, lahir dan berkembang dengan segala agresivitasnya dalam mengembangkan Islam, sehingga menimbulkan ketegangan dan konflik di mana-mana, menjadikan orang menggebyah uyah bahwa seluruh pesantren bersikap demikian. Padahal Tidak. Pes