Risalah Redaksi

Mengejar Biaya Pendidikan

Selasa, 3 Mei 2005 | 11:00 WIB

Semua orang semua kelompok mengatakan bahwa untuk mengatasi berbagai krisis dan keterbelakangan yang dialami negeri adalah dengan pendidikan. Tetapi dalam kenyataannya pendidikan di Indonesia merupakan lembaga paling mahal dan paling susah dijangkau saat ini. Kalau pada awal kemerdekaan bahkan hingga decade 1980-an, kebijakan pemerintah tentang pendidikan masih memihak rakyat, tetapi ketika reformasi berlangsung pendidikan sepenuhnya telah anti rakyat. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya kita tidak sedang menangani krisis, sebaliknya sedang memperparah krisis nasional.

Kita masih ingat beberapa tahun yang lalu dengan bersemangatnya pemerintah membangun ribuan SD Impres dengan penyediaan gurunya hingga ke daerah terpencil, sehingga memungkinkan semua anak usia sekolah bisa tertampung. Demikian halnya pendidikan tingkat atas bahkan perguruan tinggi, baik yang berstatus negeri maupun swasta, diselenggarakan dengan biaya yang bisa dijangkau oleh masyarakat. Artinya masyarakat maupun negara mampu menyelenggarakan pendidikan dengan tidak terlalu bergantung (memeras) dana masyarakat.
Wal hasil saat itu peringkat pendidikan kita di mata dunia juga relatif terhormat, tetapi ketika situasi demokrasi disebarkan, peran negara dikurangi, sementara swasta dibesarkan. Implikasi dari gerakan tersebut adalah maraknya gerakan swastanisasi dalam arti komersialisasi. Tidak hanya komersialisasi barang-barang melainkan juga dilakukan komersialisasi pendidikan. Celakanya tidak hanya pendidikan umum yang terjangkiti penyakit ini, pendidikan agama bahkan pesantren juga tidak kalah parahnya.

<>

Sejak kenaikan beaya pendidikan itu berbagai peristiwa tragis terjadi, kalau dulu bunuh diri anak-anak hanya terjadi di Jepang, tetapi peristiwa tersebut mulai menjangkiti anak-anak di negeri ini, hanya malu karena tidak bisa membayar dana pendidikan. Tetapi peristiwa itu tidak pernah menggugah hati para pemimpin dan para pengambil keputusan, baik di parlemen maupun pemerintah, sementara gerakan melambungkan beaya pendidikan terus didorong dengan alasan kemandirian. Sementara kampanye pendidikan gratis yang merupakan kewajiban negara sesuai konstitusi yang sudah ditetapkan malah diabaikan.Tetapi betapa bohongnya semua itu ketika tiba-tiba gaji rektor naik 400 persen, sehingga, setiap bulan pendapatan seorang rektor UGM bisa mencapai 35 juta, menyamai gaji pimpinan perusahaan besar. Uang sebanyak itu tidak mungkin kalau tidak mengerul kantong mahasiswa. Akibantnya abanyak orang yang tidak bisa masuk bangku kuliah.

Di negeri di mana tidak ada keadilan pasti banyak orang miskin dan papa tetapi di saat yang sama banyak orang yang kaya tanpa bekerja. Karena mencuri fasilitas orang Miskin, sehingga negara dan masyarakat tidak mampu membeayai pendidikan. Sementara negeri ini kaya sumberdaya alam,seperti minyak, batubara, emas, tembaga, timah. Belum laga sumber daya hutan dan kelautan. Demikian juga  sumber daya manusia juga banyak tersedia, warisan dari pendidikan kolonial maupun pendidikan nasional.

Sementara banyak negara miskin tetapi bisa menyekolahkan seluruh warga negaranya tanpa biaya, sepeti Musir, Syria, bahkan Sudah di Afrika sana juga bisa melakaukan hal sama. Mereka tidak hanya membiayai pendidikan warga negaranya, tetapi mampu menyekolahkan bangsa lain. Banyak mahasiswa kita yang mendapatkan beaiswa dari Mesir dari Syria bahkan dari Sudan. Inilah ironisnya, mereka walaupun kekayaannya sediri tetapi dikolela secara benar dan penuh amanah, sementara kekayaan kita besar tetapi habis dijarah oleh penguasa dan pengusaha. Perusahaan, bank bahkan kekayaan sekolahan dirampok oleh para pejabatnya sendiri.

Sejak nenek moyang kita pendidikan selalu gratis, setidaknya sangat murah, baik yang swasta maupun negeri. Beberapa dasawarsa ayang lalu masyarakat masih bisa tenang menikmati pendidikan sekolah. Justeru setelah banyak sarjana, banyak tenaga terdirik, sekolahan semakin mahal. Akibatnya terjadi diskriminasi pendidikan secara social dan ekonomi. Kalau dulu Belanda sengaja menciptakana berbagai diskriminasi pendidikan, ada sekoalh khusus pribumi dan sekolah khusus Belanda. Celakanaya sekarang ini pemerintah hendak membuat pendidikan berhirarkhi seperti zaman kolonial, yakni pendiidikan untuk kelompok ekonomi lemah dan pendidikan untuk kelompok hartawan.

Diskrominasi semacam itu mesti ditentang, karena menghancurkan kesetaraan derajat antar sesama manusia. Pendidikan bagaimanapun haruslah ditentukan oleh kemampuan setiap orang, sehingga bisa berkompetisi secara fair. Kalau diskriminasi dijalankan, kompetisi tidak akan berjalan, akhirnya sekolah akan semakin kehilangan standar mutu, yang akhirnya akan kehilangan kredibilitas. Maka yang terjadi muncul berbagai sekolah mahal, tetapi mutu tidak dijamin. Akhirnya yang miskin terbelakang karena tidak bisa sekolah sementara yang kaya bisa sekolah tetapi tidak bermutu, maka akan terjadi kemunduran pada bangsa ini. Akibatnya akan merosot martabat bangsa ini di hadapan bangsa yang lain. Sementara beaya pendidikan terus melmbung semakin tak terkejar. Harus ada kebijakan politik yang mampu menyetop penyimpanagan ini. (Munim DZ)


 


Terkait