Nahdlatul Ulama memiliki empat prinsip dasar yang meliputi tawasuth wa i’tidal (sikap moderat dan menjunjung tinggi keadilan), tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran). Karena prinsip itulah, NU dikenal sebagai organisasi yang memperjuangkan toleransi, moderasi, dan keseimbangan. Dari keempat prinsip tersebut, prinsip i’tidal yang tampaknya perlu mendapat perhatian lebih serius. Prinsip keadilan merupakan prinsip paling penting yang menjadi dasar berjalan baiknya prinsip-prinsip lain. Bagaimana kita bisa menjaga toleransi dan kedamaian jika ada kesenjangan ekonomi yang menganga.
Energi para pegiat NU banyak yang dicurahkan untuk mengawal persoalan-persoalan toleransi beragama atau radikalisme. Mereka aktif dalam berbagai lembaga swadaya masyarakat yang menangani masalah toleransi dan moderasi beragama, tapi gaung perjuangan terhadap kesenjangan ekonomi atau nasib warga NU yang berprofesi sebagai petani, buruh, atau mereka yang masih dalam dalam posisi sebagai kelompok miskin atau sangat miskin perlu diperdengarkan dengan lebih nyaring. Jika kita juga kurang menaruh perhatian kepada mereka, lalu kepada siapa lagi para mustad‘afin meminta pertolongan?
Persoalan ekonomi dan ketimpangan sosial sesungguhnya sejak dahulu telah menjadi kesadaran bersama. Tiga program prioritas hasil muktamar ke-33 NU di Jombang adalah bidang ekonomi selain kesehatan dan pendidikan sebagai yang utama. Munas dan Konbes NU di Lombok 2017 juga mengambil tema ekonomi sebagai bahasan penting seperti upaya redistribusi lahan. Beragam diskusi dan pertemuan di lingkungan NU juga membicarakan isu ekonomi. Organisasi seperti Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN) atau Himpunan Pengusaha Santri (Hipsi) juga telah dibentuk. NU telah memperjuangkan kredit supermikro dengan suku bunga sangat murah, yang lebih murah dari KUR. Tapi tampaknya perlu upaya lebih keras menjadikan persoalan ekonomi sebagai gerakan bersama yang mengakar sampai ke tingkatan paling bawah.
Sebagian besar para aktivis NU memiliki latar belakang pendidikan agama dan sosial-humaniora. Tak heran jika minat mereka lebih banyak tercurahkan pada persoalan-persoalan bagaimana menjaga toleransi dan keberagaman di Indonesia. Sayangnya, bangunan kedamaian bisa hancur jika sewaktu-waktu kesenjangan sosial ini meletus menjadi kerusuhan. Ekonomi Indonesia saat ini dikuasai oleh kelompok yang secara etnis dan agama merupakan kelompok minoritas. Distribusi kekayaan yang lebih merata perlu mendapat perhatian serius. Karena itu penting untuk mendesain bagaimana aktivis NU yang memiliki minat dalam bidang advokasi isu-isu ekonomi mendapat ruang yang lebih besar. Juga perlunya melibatkan para pelaku usaha untuk mengabdikan dirinya pada NU.
Tumbuhnya kesadaran terhadap masalah toleransi dan pluralisme banyak dipengaruhi oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menulis tema-tema tersebut, lalu diikuti dengan diskusi anak-anak muda NU yang kini sudah menduduki posisi kunci di lingkungan NU. Gus Dur pula yang menginisiasi agar anak-anak muda terlibat dalam berbagai aktivitas sosial melalui lembaga swadaya masyarakat. Apa yang terjadi saat ini adalah buah dari visi besar Gus Dur akan Indonesia sebagai negara majemuk yang memegang teguh prinsip toleransi dan moderasi.
Kini ketimpangan menjadi persoalan utama. Wacana dan program pemberdayaan ekonomi telah banyak dilakukan, tetapi hasilnya belum tampak nyata. Dalam tingkat nasional, Rasio Gini atau tingkat ketimpangan dari tahun ke tahun terus meningkat. Kita tidak boleh berpuas diri bahwa kita telah memperjuangkan toleransi dan moderasi di Indonesia. Permasalahan yang lebih besar masih menghantui kita. Dan itu jauh lebih sulit mengatasinya karena ini menyangkut kepentingan ekonomi. Kelompok-kelompok mapan yang kini berkuasa tentu tak ingin apa yang selama ini mereka nikmati hampir secara eksklusif didistribusikan kepada banyak orang. Dengan modal yang mereka miliki, hampir semua hal bisa dilakukan, mulai dari mempengaruhi pembuatan kebijakan, pembelaan di pengadilan, sampai membayar orang-orang di lapangan untuk mengamankan asetnya.
Kita tahu bahwa kekuatan ekonomi menjadi bagian sangat penting dalam menentukan posisi sebuah bangsa atau kelompok. Singapura, Hong Kong atau Taiwan dari sisi penduduk dan geografis merupakan negara kecil, tapi kekuatan ekonominya memiliki pengaruh di dunia. Yahudi di berbagai wilayah di dunia selalu menguasai sektor ekonomi dan dengan demikian mereka membangun pengaruhnya. Kelompok besar yang tidak menguasai ekonomi hanya jadi sasaran pasar saja.
Dari tiga program utama amanat Muktamar, maka yang paling menentukan adalah aspek ekonomi. Jika jika memiliki dana yang memadai, kita bisa membikin fasilitas pesantren yang memadai, kita bisa bisa membuat fasilitas kesehatan yang lengkap. Tak ada lagi anak-anak yang mengalami stunting atau kekurangan gizi. Alangkah bahagianya melihat warga NU sejahtera. (Achamd Mukafi Niam)