Risalah Redaksi

Menjaga Anak-Anak dari Perangkap Prostitusi

Sabtu, 3 September 2016 | 12:36 WIB

Menjaga Anak-Anak dari Perangkap Prostitusi

ilustrasi dsascc.org

Berita penangkapan jaringan penyedia prostitusi anak untuk laki-laki penyuka sesama jenis pada 30 Agustus oleh patroli cyber Polri di kawasan wisata Puncak Jawa Barat menunjukkan rentannya anak-anak Indonesia, terutama di lokasi wisata, untuk diperdagangkan menjadi penyedia jasa pemuas seksual. Anak-anak yang masih polos, yang menjadi harapan orangtuanya, dibujuk oleh para germo untuk melayani laki-laki dengan kelainan orientasi seksual. Rayuan untuk melakukan tindakan seks menyimpang ini bisa merubah orientasi seksual mereka saat dewasa kelak. Akhirnya mereka juga mengalami penyimpangan seksual dan kelak, mencari korban baru. Begitulah siklus yang sangat mengerikan terjadi. 

Bisa jadi apa yang terungkap saat ini hanya bagian puncak dari sebuah gunung es masalah prostitusi anak, terutama di daerah-daerah yang menjadi tujuan wisata di mana para turis ingin keluar dari peradaban dan kehidupan normal yang penuh aturan etika dan kesopansantunan, menuju pemenuhan hasrat penuh kebebasan. Berkembangnya jasa prostitusi merupakan bagian dari 3 S, sun, sex, and sea yang dijual dalam industri wisata. Indonesia, menurut laman therichest.com  menduduki posisi keempat dalam hal tujuan paling populer dalam wisata seks sedangkan peringkat tertinggi diduduki oleh Thailand. Di luar transaksi seks konvensional di lokalisasi atau melalui daring (online), di kawasan wisata Puncak dikenal adanya kawin kontrak, yaitu perkawinan yang dibatasi waktu hanya beberapa hari atau beberapa bulan, tergantung lamanya turis tinggal. Biasanya mereka yang terlibat dalam perkawinan yang menurut para ulama tidak sah ini datang dari turis Timur Tengah. Ini sebenarnya juga merupakan versi wisata seks dalam bentuk tersendiri. Para pria penyuka sesama jenis, juga berusaha mencari kenikmatan seks dengan mengincar anak-anak sebagai korban. Dan kini, mereka yang berorientasi seperti ini secara global terus meningkat.

Selain, Indonesia dan  Thailand, di Kawasan ASEAN, Kamboja dan Philipina menjadi tujuan wisata seks. Dengan adanya fakta seperti ini, para pemangku kepentingan jangan sampai menutup mata dengan hanya melihat pundi-pundi rupiah yang didapat tetapi mengabaikan dampak negatif yang memiliki pengaruh terhadap perubahan perilaku masyarakat dalam panjang. Apalagi, transaksi seks yang dilakukan secara daring yang bisa dilakukan dari mana saja dan menjangkau siapa saja, tak terbatas sebagaimana prostitusi tradisional yang biasanya di lokalisir di tempat-tempat tertentu saja. Tentu upaya pengawasan prostitusi daring ini juga harus diperketat.

Pada daerah-daerah yang rentan terhadap eksploitasi anak ini, para orangtua diharap semakin waspada dalam mengawasi perilaku putra-putrinya. Dalam banyak kejadian, orangtua baru tahu setelah kasus tersebut terungkap oleh pihak yang berwajib. Kebanyakan korban berlatar belakang keluarga miskin yang mana orangtua sibuk mencari penghasilan, sedangkan anak-anaknya yang kurang pengawasan ini mudah diiming-imingi uang untuk memenuhi keinginannya akan barang-barang mahal yang sebenarnya belum dibutuhkan. Dalam hal ini tokoh agama setempat juga harus dengan tekun membimbing masyarakat yang rentan terhadap pengaruh budaya negatif dari para pendatang.

Sebenarnya kesadaran masyarakat tentang perlindungan anak-anak dari cengkeraman prostisusi kini semakin meningkat. Penutupan sejumlah tempat prostitusi kini sebagian besar didasarkan pada alasan untuk melindungi anak-anak dari perdagangan seks. Di tempat tersebut, germo selalu mencari gadis muda untuk dijadikan penarik minat laki-laki hidung belang. Tentu, gadis-gadis tersebut hanya bisa dimasukkan dalam ladang prostitusi dengan berbagai tipu daya dan pemaksaan. Jika siklus ini bisa diputus, tentu prostitusi bisa dikurangi. Upaya penutupan lokalisasi tidak mudah karena banyak pihak yang mengais rejeki dari situ. Keberanian walikota Surabaya Tri Rismaharini dalam menutup lokalisasi Dolly bisa menjadi contoh bagi pemimpin daerah lain untuk melakukan hal yang sama. Tentu dengan tidak melupakan pendekatan kemanusiaan pada mereka yang selama ini mencari penghidupan dari situ.  

Bagi-anak-anak yang terjerat dalam persoalan prostitusi ini, pendampingan sangat diperlukan untuk memulihkan mereka dari trauma psikologis. Mereka perlu mendapat dukungan agar bisa hidup kembali dalam situasi normal dan mengembangkan potensi yang mereka miliki.

Bagi germo dan pembeli jasa seks anak, tentu perlu ada hukuman seberat-beratnya sebagai efek jera bagi kemungkinan kejadian yang sama di masa mendatang. (Mukafi Niam)


Terkait