Gairah untuk mengekspresikan diri sebagai Muslim yang baik di Indonesia kini terus mengalami peningkatan. Peringatan tahun baru hijriah yang baru berlangsung beberapa hari lalu semarak dengan berbagai kegiatan. Di masjid-masjid kompleks perumahan, masyarakat menggelar pengajian, pawai obor, muhasabah akhir tahun, dan beragam kegiatan bertema Islam lainnya. Pada Idul Adha lalu, masyarakat juga tak segan-segan untuk berkurban dengan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun terus meningkat. Sebuah mushalla kecil di Jakarta bisa mendapatkan puluhan kambing plus beberapa ekor sapi. Di Jabodebatek, peringatan Maulid Nabi berlangsung hampir sepanjang tahun, tak hanya di bulan Maulid.
Apa yang terjadi saat ini tak lepas dari peningkatan kemampuan ekonomi umat Islam di Indonesia. Kapasitas ekonomi personal umat Islam ataupun lembaga-lembaga Islam terus meningkat. Setiap tahun ratusan ribu orang berangkat umrah, plus dua ratus ribu lebih yang berangkat haji. Rumah sakit Islam dan perguruan tinggi Islam terus meningkat dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Kapasitas untuk menggelar beragam kegiatan keagamaan yang semarak mencerminkan kapasitas sumberdaya yang terus berkembang ini.
Dengan posisi seperti ini, kepercayaan diri umat Islam terus bertambah dari waktu ke waktu yang tercermin dalam ekspresi sosial dan politik. Sebelumnya, umat Islam mengalami marginalisasi, dari era kolonial hingga kemerdekaan. Sektor ekonomi dan politik dikuasai oleh sekelompok kecil elit yang kebijakannya tidak selalu menguntungkan Islam sebagai mayoritas. Umat Islam dalam banyak hal hanya dijadikan stempel untuk mengesahkan kebijakan tertentu.
Situasi seperti ini tentu harus disyukuri bahwa umat Islam memiliki posisi tawar yang terus menguat. Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya ekpresi yang berlebihan dari sekelompok kecil umat yang berpotensi merusak tatanan dan harmoni yang sudah ada mengingat Indonesia dari semula adalah negara dengan sejumlah keragaman. Keinginan mendirikan negara Islam tentu merusak kesepakatan besar yang sudah ada dari para pendiri bangsa. Merasa paling benar sendiri dan menegasikan kelompok lain yang memiliki potensi untuk turut membangun bangsa ini juga turut diwaspadai.
Di sinilah peran NU sebagai kelompok Islam yang secara jumlah mayoritas dan pandangan keagamannya moderat memiliki posisi strategis. NU dapat menjadi penyeimbang dari kelompok kiri yang ingin menjadikan Indonesia ini sebagai negara sekuler atau dengan kelompok kanan yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Pertarungan dua kelompok ini secara nyata bisa dilihat dari sejumlah isu yang diangkat seperti isu perda syariah, isu PKI atau terkait dengan kontestasi politik praktis yang masing-masing kelompok memiliki preferensi berbeda terkait calon yang diusung.
Sekalipun demikian, NU juga menghadapi tantangan internal, yaitu gerusan dari kelompok kiri yang menarik kader-kader NU untuk menjadi sekuler atau tarikan dari kelompok kanan yang menggaet santri-santri NU untuk ikut gerakan transnasional. Dalam situasi serba bebas dan kontestasi yang ketat inilah NU memiliki tugas berat untuk berdiri kokok di tengah, menjadi sokoguru untuk mempertahankan NKRI ini.
Pengurus NU dan para aktivis NU harus mampu menjadikan banyak orang merasa nyaman berada dalam naungan NU. Hal ini penting mengingat belakangan ini, semakin banyak orang tidak mengidentifikasi diri masuk organisasi keislaman tertentu. Dalam situasi tertentu, mereka rawan untuk dibawa arus mendukung isu-isu tertentu yang populer tetapi mengancam kebinekaan Indonesia.
Upaya merangkul atau mendakwahkan jalan moderat ini tentunya harus menyesuaikan diri dengan kondisi sosial masa kini atau sesuai dengan umur target mereka yang akan didakwahi. Tradisi terus tumbuh dan berkembang menyesuaikan dengan zaman. Misalnya, bisa jadi tidak tepat memaksakan orang di daerah perkotaan harus dibaan karena budaya yang ada berbeda. Bisa saja diganti dengan pembentukan kelompok musik islami, baca puisi atau segala sesuai yang menarik bagi generasi muda. Kegiatan bagi remaja Muslim perlu dikemas sesuai dengan kondisi kekinian. Wali Songo dahulu berhasil berdakwah dengan menyesuaikan diri pada budaya masyarakat. Prinsip dasar inilah yang harus terus dipegang, bukan mempertahankan tradisi yang sudah ada yang mungkin saja terlihat usang bagi generasi milenial. (Achmad Mukafi Niam)