Kembali ke kampung halaman saat Lebaran yang populer disebut mudik merupakan impian bagi orang-orang yang merantau. Kenangan masa kecil yang indah, bertemu dengan keluarga dan para sahabat, harmoni, dan ketenteraman hidup di tanah kelahiran, mengalahkan perjuangan panjang dan melelahkan di jalanan. Berita tentang mudik dengan segala dinamikanya seperti kemacetan luar biasa selalu mendominasi liputan pada akhir Ramadhan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya termasuk adanya bantuan berbagai pihak, seperti dari anggota Banser yang turun mengamankan lalu lintas, toh kejadian yang sama selalu berulang setiap tahunnya.
Para pemudik, ingin kembali melaksanakan kedekatan dengan komunitas asalnya, bersilaturrahmi sebagai mahluk sosial, sekaligus ingin rehat sejenak untuk mengurangi ketegangan akibat kerja atau untuk sekedar menunjukkan kesuksesannya kepada sanak saudara dan teman-temannya di kampung halaman. Mudik merupakan fenomena budaya yang menyatu dengan momentum perayaan agama. Tentu hal ini patut dilestarikan ditengah-tengah tumbuhnya budaya individualisme yang mementingkan diri sendiri. Mudik, juga mendistribusikan sebagian kekayaan yang sebelumnya berpusat di kota-kota besar ke daerah asal.
Dengan semakin banyaknya migrasi ke daerah perkotaan dari tahun ke tahun, mudik menjadi semakin besar skalanya. Tentu persoalannya yang dihadapi menjelang mudik juga akan bertambah. Daerah pedesaan ditinggalkan generasi muda karena kurangnya kesempatan untuk bisa berkembang di sana. Tiadanya fasilitas yang memadai di daerah membuat potensi-potensi yang ada kurang bisa dimaksimalkan. Kota-kota menjadi pilihan untuk mencari penghidupan. Dan, Jakarta merupakan magnet dengan daya tarik terbesar untuk urbanisasi karena kota inilah yang menyediakan berbagai fasilitas yang menjadi impian, sebagaimana terlihat dan dipertontonkan di TV. Seperti apapun Jakarta dibangun, tak akan mampu menampung para pendatang jika pusat-pusat pertumbuhan baru tidak disebarkan di berbagai wilayah di Indonesia. Berbagai persoalan sosial dan ekonomi akan terus muncul seiring dengan bertambahnya jumlah pendatang baru.
Di kota-kota besar ini pulalah muncul Muslim urban, sebuah budaya Muslim yang lekat dengan kultur industri dan jasa yang merupakan wajah dari sebuah kota. Tentu, mereka berbeda dengan akar tradisi mereka di daerah yang sebagian besar masih berkultur agraris. Generasi ini terus tumbuh membesar. Mereka inilah yang ingin kembali ke akar tradisi di mana mereka dibesarkan.
Jakarta menjadi pusat magnet bisnis sementara daerah lain hanya mendapatkan remah-remah sisanya. Sebagai misal, realisasi pendapatan asli daerah DKI Jakarta pada 2015 mencapai 44,21 triliun, jumlah terbesar PAD di Indonesia. Jakarta menjadi penuh sesak oleh manusia dengan segala problematikanya. Siapapun pemimpinnya, menghadapi persoalan yang sama. Kemacetan saat mudik, hanyalah sedikit gambaran dari persoalan di Jakarta yang rutin mengemuka setiap tahunnya.
Upaya mengembangkan daerah dengan kebijakan desentralisasi juga belum sepenuhnya berhasil membangun pusat-pusat pertumbuhan baru di daerah. Masih ada banyak persoalan, salah satunya adalah banyak kepala daerah yang tidak kompeten dalam memimpin. Bukannya membangun, mereka justru mencari rente ekonomi dengan membuat berbagai peraturan yang tidak kondusif untuk berusaha, atau hanya mencari partner bisnis yang memberi keuntungan bagi diri dan kelompoknya.
Dengan berbagai persoalan tersebut, rakyatlah yang harus berjibaku, bahkan sampai merantau ke tempat-tempat lain dengan susah payah jika ingin hidup lebih sejahtera.
Sebagai negeri dengan penduduk mayoritas Muslim, jika berbagai persoalan internal yang menghalangi kemajuan, baik ekonomi maupun ilmu pengetahuan ini tidak diselesaikan, maka cita-cita Indonesia untuk menjadi pemimpin Muslim di dunia masih jauh dari harapan. Muslim di Indonesia masih harus berjuang untuk hal-hal yang sifatnya mendasar sehingga energinya belum bisa diarahkan pada upaya-upaya pengembangan peradaban yang lebih besar. Mudik dan kemacetan yang dialaminya, menggambarkan kesiapan Indonesia memimpin dunia Islam. (Mukafi Niam)