Pada dasawarsa 1940- 60-an dunia dibelah oleh dua kubu yaitu kubu kapitalis (demokrasi liberalis) dan kubu komunis (dictator ploretariat). Pembelahan ini mewarnai agenda seluruh politik kesejagadan manusia. Tetapi Bangsa Indonesia mampu mengatsi pembelahan itu dengan membangun kekuatan alternatif non Blok di mana NU merupakan elemen penting di dalamnya, hal itu kemudian diejawantakan NU dalam pembentukan Konfrensi islam Asia Afrika (KIAA).
Begitu salah satu blok politik itu yaitu Komunis Soviet tumbang, maka hanya ada satu kekuatan hegemonic dunia yaitu blok kapitaslis pimpinan AS, maka kekuatan ini merajalela dalam melakukan intervensi ke berbagai negara tanpa lagi ada rasa khawatir akan hadangan Soviet. Maka seluruh dunia nyaris di bawah genggaman AS, begitu ganasnya AS menyerang Libia, Afganistan, Nicaragua, Iran dan terakhir Iraq.
<>Peristiwa demi peristiwa itu membangkitkan perlawanan kaum tertidas, kalau kaum komunis telah kehilangan semangat perlawanan, kini kelompok Islam yang melanjutkan. Kegarangan AS di berbagai belahan dunia terutama yang dilakukan Israel di kawasan Palestina yang didukung AS dan sekutunya membuat semakin suburnya gerakan Islam garis keras.
Celakanya gerakan tersebut juga melebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia, terutama di kalangan Islam puritan yang fundamentalis. Dengan tegas sejak awal kelahirannya NU menolak segala bentuk imperialisme, baik imperialisme Belanda, Jepang maupun AS seperti dalam kasus PRRI. Namun demikian NU juga menolak segala bentuk fundamentalisme yang mengarah pada radikalisme Islam yang mengarah pada kekerasan sebagaimana yang diekspresikan oleh gerombolan DI-TII da tahu 1960-an.
Munculnya gerakan Komando Jihad pada dasawarsa 1970-1980-an yang banyak meyeret kelmpok Islam puritan yang militan dalam melakukan terror, sama sekali gagal menyeret komunitas Nahdliyin dalam arus yang memang dikutuk oleh NU. Pada dasarnya NU memiliki sikap dan pemahaman keagamaan sendiri, karena itu tidak bisa dipaksa mengikuti irama keagamaan komunitas lain, akhirnya NU selalu selamat dari berbagai godaan dan rekayasa yang menjerumuskan komunitas Islam ke medan pembantaian itu. Maka dengan sikap tawazun dan toleransinya NU selamat dari jebakan politik itu.
Kembali lagi di era 1990- hingga 2000-an ini di mana marak gerakan terorisme, yang kembali banyak menyeret komunitas Islam puritan ke kancah kekerasan dalam bentuk tindakan kriminal dan terror, dengan alasan untuk melawan hegemoni kapitalis Barat yang dianggap anti Islam dengan melakukan serangkaian pengeboman. Kembali NU menunjukkan sikap independensinya, yang tidak mau melibatkan diri dalam tindak kekerasan semacam itu. Dengan sikap semacam itu NU sering dituduh oportunis, padahal NU menolak DI-TII atau PRRI bukan karena pro Soekarno, tetapi menolak penghancuran terhadap republik yang didirikan oleh NU sendiri. Demikian juga penolakan NU terhadap komando jihad atau gerakan Islam Jihad bukan karena pro Soeharto atau pro Amerika, tetapi NU ingin tetap eksistensi negara RI, bukan negara Islam atau negara Liberal.
NU melihat dengan jelas bahwa fundamentalisme dan radikalisme Islam telah membawa Islam kejurang pembantaian oleh kelompok lain. Karena itu NU secara konsisten menolak paham dan sikap fundamentalisme dan radikalisme yang merusak citra Islam sendiri dan menyalahi karakter keislaman dan keindonesiaan.
Demikian halnya NU juga dengan tegas menolak liberalisme dan imperialisme, sebab ideology ini tidak hanya menghancurkan tatanan social, keutuhan negara tetapi saat ini juga telah mulai berusaha menghancurkan ikatan keluarga, dengan memunculkan kebebasan individu tanpa ada ikatan tanpa otoritas dan tanpa komitmen. Ketika barir bangsa tiada, ikatan social sudah pudar dan jalinan kekerabatan sudah mulai luntur maka imperialisme dengan mudah menancapkan cengkeraman penjajahannya atas bangsa ini.
Kalau fundamentalisme Islam telah melahirkan DI-TII, Komando Jihad dan terorisme belakangan ini. Sementara liberalisme telah melahirkan PRRI, Permesta dan Gestapu. Karena itu NU akan terus menolak segala bentuk fundamentalisme Islam dan liberalime dalam bidang apapun, dengan lebel apapun, karena liberalisme tidak lebih dari alat imperialis untuk mencaplok negeri dan bangsa ini. (munim DZ)