Risalah Redaksi

PELANGGARAN KEBEBASAN BERAGAMA

Ahad, 31 Oktober 2004 | 14:59 WIB

Kebiadaban tentara Thailand terhadap umat Islam di Pattani sebenarnya telah mengakar sejak berdirinya negeri gajah putih itu. Ini tidak hanya menyangkut soal ketegangan budaya tetapi juga soal ketegangan beragama. Bangsa Thai yang mayoritas beragama Budha kelihatannya belum menerima orang Pattani sebagai masyarakat sebangsa. Secara geografis Pattani diklaim sebagai wilayah kerajaan Thai, tetapi sebaliknya secara demografis dan kultural Pattani selalu dilihat sebagai bangsa lain yang kehadirannya dianggap mengganggu keutuhan bangsa itu, akibatnya mereka didiskriminasi karena berbeda ras dan berbeda agama, dengan demikian juga beda kultur. Perbedaan itu yang membuat pemerintah Thai bersikap diskriminatif bahkan cenderung diekpresikan dengan tindak kekerasan baik yang terbatas maupun massal.

Kebrutalan tentara Thailand menghadapi para demonstran Muslim bukan suatu yang salah prosedur, sperti yang bakal dibuktikan oleh tim pencari fakta, tetapi lebih merupakan simtom dari sebuah bawah sadar bahwa kelompok Muslim Patani adalah musuh yang harus dibasmi. Demonsatrasi hanya sekedar picu, bukan sebab utamanya, karena itu tanpa ada demonstrasi, pasukan Thailand akan berbuat kekarasan dengan alasan apapun. Bahkan demonstrasi terjadi juga karena adanya kekerasan yang mereka derita selama bertahun-tahun.

<>

Sikap intoleransi Pemerintah Thailand dan masyarakat Budha di negeri itu pada umumnya terhadap komunitas Muslim terjadi karena mereka tidak bisa menerima pluralitas, menghendaki hegemoni tunggal oleh Budhisme. Sikap itu terungkap secara sadar atau tidak dalam mengkelola politik di provinsi bagian Selatan yang terdiri dari ras Melayu itu. Kemelayuan dan Keislaman rupanya belum bisa diterima oleh pemerintah dan masyarakat di situ, ini terjadi karena belum tuntasnya orientasi kemanusiaan di kalngan mereka sehingga cenderung rasialis.

Perlu diketahui bahwa masyarakat Pattani tergolong masyarakat kreatif, walau dalam tekanan politik dan diskriminasi, tetapi mereka terus gigih melakukan berbagai eksperimen di bidang pertanian dan peternakan, sehingga kehidupan mereka cukup makmur walau dana yang diberi pemerintah hanya sedikit. Kreativitas itulah yang membuat komunitas muslim tersebut tetap sejahtera secara ekonomi walau secara plitik dan social didiskriminasi.

Tetapi celakanaya kelompok lain yang ada dalam negeri itu bukan diangap sebagai kekayaan kultural, yang kemudian dijaga dan dikembangkan, serta dilibatkan dalam berbagai aktivitas masyarakat dan kenegaraan di negeri yang telah berdemokrasi itu. Bila kenyataan seperti itu demokrasi hanya untuk bangsa Thai Budha, belum untuk bangsa secara keseluruhan. Sebaliknya mereka malah dianggap duri dalam daging, yang kalau dapat harus dienyahkan. Kalau dilihat tingginya frekewensi kekerasan yang dilakaukan pemerintah pada bangsa Pattani, maka nafsu untuk pelenyapan itu sungguh terjadi. Bayangkan berapa kali Perdana menteri mita maaf setiap terjadi pembantaian di tempat ibadah, tetapi terus diulang dengan lebih mengerikan.

Memang bukan tentara itu yang bersalah, tetapi ada yang salah dalam otak bangsa Thai, yakni kesalahan dalam memandang komunitas Muslim di wilayah Pattani, bangsa ini mengaku metropolis, demokrat, tetapi dalam kenyataaannya belum bisa menerima perbedaan. Dimana ada demokrasi tanpa mengenal perbedaan pendapat, kalau tidak dalam bangsa yang masih rendah peradabannya yang belum setara dengan tuntutan demokrasi itu sendiri.

Maka segala macam protes yang dilakukan masyarakat maupun kalanagan diplomatik terhadap kekerasan tentara di negeri itu akan sia-sia. Maka sebenarnya yang perlu dilakukan adalah membuat gerakan penyadaran terhadap bangsa itu, baik di level masyarakat maupun negara, sampai bangsa itu menghargai pluralitas. Langkah ini merupakan cara paling efektif untuk mencegah nafsu pemusnahan yang masih membara dalam jiwa bangsa itu. Cara pandang itu yang berbahaya karenanya itu yang perlu dikikis melalui gerakan penyadaran itu, dan ini merupakan program jangka panjang.

Problem semacam itu perlu diatasi, sebab kalau dibiarkan akan mengganggu keamanan di kawasan Asia Tengara. Sementara gangguan keamanan di wilayah ini akan mengganggu lalulitas politik dan perdagangan dunia, sebab kawasan ini merupakan lintasan budaya dunia, karena itu keamanannya harus dijaga. Belum lagi bila dikaitkan dengan problem kenusantaraan, konflik di daerah itu akan mengganggu solidaritas kenusantaraan yang telah terbentuk secara berabad-abad sehingga membentuk tradisi kenusantaraan, yang ditandai dengan tingginya tingkat toleransi, sehingga membawa harmoni di kalangan bangsa Asia Tenggara ini. (MDZ) 


***



Terkait