Jakarta, NU.Online
Sekolah dasar itu pada awalnya disebut dengan sekolah rakyat, ini bukan sekadar sebagai jenjang pendidikan, tetapi juga sekaligus merupakan orientasi ideologi. Tidak hanya untuk sekolah dasar, tetapi menjadi orientasi seluruh jenjang pendidikan sejak dari dasar hingga perguruan tinggi, yang sepenuh-penuhnya disediakan untuk mencerdaskan rakyat. Sekaligus ini sebagai anti tesis dari pendidikan kolonial yang elitis, hanya untuk kalangan aristocrat, atau kalangan priyayi. Dengan orientasi kerakyatan itu maka pendidikan memperoleh subsidi sangat besar dari negara, dengan buku, laboratorium atau alat peraga secara gratis, serta menu tambahan.
Tetapi tiba-tiba sekolah rakyat diganti dengan sekolah dasar, yang hanya menunjuk pada jenjang pendidikan, tetapi tidak mencerminkan komitmen ideology pendidikan nasional. Walaupun pada periode itu masih banyak subsidi tetapi secara kuantitatif semakin dikurangi, dengan dalih otonomi. Tidak beda dengan politisi daerah menangkap isu itu. Kalangan intelektual menangkap kebijakan itu tidak kalah rakus, otak diputar tidak untuk membangun sebuah teori, atau merumuskan sebuah konsep, melainkan untuk memperoleh keuntungan material sebesar-besarnya. Bahkan pendidikan secara umum dikelola mirip sebuah perusahaan.
<>Kecenderungan itu tidak hanya berlaku pada sekolah umum, madrasah bahkan pesantren juga tidak kalah komersialnya. Apalagi yang belakangan ini pemilikannya secara pribadi, maka mirip sebuah badan usaha, sebagai mesin mengeruk uang dari santri. Kalau selama ini pesantren merupakan pendidikan alternatif, sebagai pendidikan bagi rakyat, karena murah bahkan gratis, tetapi sekarang menjadi pendidikan konvensional, yang kehilangan dimensi alternatifnya, sehingga kehilangan fungsi emansipatorisnya.
Kepentingan komersial itu dibungkus dengan berbagai fasilitas dan label yang menawan, seperti sekolah unggulan, sekolah khusus, sekolah favorit dan sebagainya, yang semuanya itu merupakan daya tarik bagi kalangan terpelajar untuk belajar di sana, dengan memperoleh prestise sosial yang menjanjikan, walaupun belum tentu memperoleh prestasi keilmuan.yang membanggakan.
Dengan perilaku semacam itu baik pemerintah, pihak pengelola pendidikan dan masyarakat memandang pendidikan bukan lagi sebagai human investment (investasi kemanusiaan), melainkan sebagai capital investment (investasi uang) yang harus bisa dikembalikan dalam waktu dekat. Maka pendidikan sekarang telah sepenuhnya menerapkan ideology neo liberal, sehingga lenyaplah seluruh oientasi dan komitmen kerakyatannya, serta dimensi pelayanan dan pengabdiannya, semuanya telah diperdagangkan, pendidikan hanya bisa diperoleh melalui transaksi jual beli. Pendidikan tidak lagi diatur oleh cerdik cendekiawan, yang menawarkana kearifan, melainkan dikelola oleh seorang manajer marketing yang menawarkan keahlian teknis dalam bidang tertentu.
Mahalnya biaya pendidikan ini sangat membahayakan, bukan hanya kader terbaik tidak akan terdidik di sekolahan yang baik, melainkan juga tidak terjangkau oleh kalangan menengah biasa, dengan gaji pas-pasan. Karena itu mereka harus memperoleh pendapataan ekstra, itu wajar kalau diperoleh dengan kerja keras, tetapi hal itu juga akan mendorong orang melakukan korupsi. Bagaimana mungkin gaji yang hanya dalam ukuran juta, tetapi harus membayar sekolah yang belasan hingga puluhan juta tarifnya.
Belum lagi ketika mereka selesai sekolah, minta bayaran berapa mereka ketika bekerja, sementara sekolah dianggap investasi finansial yang harus segera balik mudal dan break even point pada saat yang ditargetkan, ini tidak lain akan mendorong lahirnya korupsi baru. Artinya pendidikan mahal akan beranak-pinak melahirkan korupsi baru yang bercabang-cabang yang sel-selnya terus menjalar seperti mikroba, sesuai dengan logika investasi yang tidak bisa balik secara wajar.
Rezim politik demikian juga rezim pendidikan telah menganut ideology neo liberal yang sepenuhnya mengandalkan mekanisme pasar, yang berkompetisi secara bebas di seluruh arena kehidupan. Akibatnya hanya sekelompok elite yang bisa bersaing, sementara mayoritas rakyat tersingkir dari halaman sekolah, dari lahan pertanian, dari pasar, tidak mampu menjangkau rumah sakit. Liberalisme yang selama ini menjadi spirit dalam berpikir, tiba-tiba menjadi sebuah lembaga yang menjadi kaki tangan kapitalis dan kolonialis dalam menjarah republik ini atas nama investasi dan pasar bebas era globalisasi.
Bagi para negarawan besar generasi pendiri republik seperti Soekarno, Hatta dan Wahid Hasyim sangat jelas lawan dan kawan, dan komitmennya terhadap bangsa dan rakyat di negeri ini. Bentuk apapun kolonialisme dan imperialisme baik yang ortodoks maupun yang liberal dilawan dengan sekuat tenaga. Karena mereka tahu mengapa republik ini dibentuk. Sementara para politisi dan kaum terpelajar saat ini melihat negara hanya sebagai sebuah perusahaan yang sahamnya bisa dijual ke mana-mana, maka tidak ada yang namanaya bangsa, sehingga tidak ada yang namanya rakyat. Mereka itu tidak lebih dari segerombolan man power (tenaga kerja) tidak jauh dari budak yang bisa dijualbelikan di arena perdagangan .
Dengan cara berpikir dan bertindak semacam itu ternyata pendidikan mahal, yang melupakan human investmen, walaupun dengan biay