Risalah Redaksi

Ritel Mengancam Pesantren

Senin, 19 Desember 2005 | 10:35 WIB

Pesantren selama ini dikenal sebagai komunitas yang mengemong masyarakat bawah, ia tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sekaligus lembaga sosial yang menangani berbagaia soal kemasyarakatan, masalah keluarga, keamanan, ekonomi hingga kesehatan. Pesantren sebagai lembaga sosial, melayani seluruh kebutuhan masyarakat baik secara spiritual maupun material, sebab pada dasrnya pesantren sendiri adalah lembaga yang dibangun bersama masyarakat.

Kehadiran Menteri Koperasi ke pesantren Tambak Beras Jombang pada Khaul KH Wahab Hasbullah beberapa Waktu lalu ternyata menyisakan persoalan yang mengkhawatirkan. Soalnya menteri yang seolah hendak memberdayakan pesantren itu dilakukan dengan cara menggandeng raksasa ritel Alfamart, agar bisa beroperasi di pesantren. Karena mungkin tidak mengerti akibatnya, para pimpinan pesantren menerima tawaran tersebut dengan senang hati.

<>

Kalau selama ini di Jakarta saju ratusan mal berdiri ditambah ratusan supermarket berskala kecil menjarah seluruh pelosok desa. Raksasa seperti Carefour, Hipermart dan Giant, telah menggulung Mahatari, Hero dan Ramayana. Demikian halnya di level bawah, Alfamart dan Indomart telah menggulung tikar para pedagang kelontong di pinggiran kota dan pedesaan. Akibatnya masyarakaat kecil kehilangan pendapatan, apalagi supermarket tersebut buka hingga larut malam, bahkana ada yang 24 jam. Bila demikian perilakunya pedagang kaki lima juga rontok.

Pemiskinan yang dilakukan berbagai perusahaan kapitalis asing itu, telah mengakibatkan terjadinya kemiskinan di mana-mana. Protes yang dilontarkan tidak pernah didengar. Sementara pemerintah masih terus dengan gerakan penghapusan kemiskian, tetapi di saat yang sama melakukan pemiskinan, dengan cara memangkas sector penghidupan masyarakat. Akhirnya masyarakat tidak bisa menjangkau pendidikan dan tidak mampu pula memperoleh layanan kesehatan. Lagi-lagi subsidi yang hendak dilakukan, tetapi itupun sangat kecil, terhambat berbagai kebijakan liberal.

Di tengah kerisauan hadirnya ritel yang menjarah hampir seluruh asset bangsa ini, yang hassilnya digerojok ke Paris, New York Tokyio atau London, sangat ironmis bila tiba-tiba seorang menteri mengumpankan pesantren dan rakyat kecil untuk dimangsa kapitalis raksasa. Bila hal itu dilakukan, maka tidak hanya masyarakat sekitar yang selama ini melayani santri dan kiai, termasuk para ustadz yang akan mengalami kebangkrutan usahaanya. Para kiai sendiri akan mengalami kesulitan melakukan usaha, sebab system ritel itu monopolis, tidak mengenal toleransi, tak ada belas kasihan. Persaingan bebas, siap kuat dia dapat, siapa lemah disingkirkan.

Selama ini kta mengenal beberapa pesantren yang dengan tegas menolak pemisahan pesantren dengan masyarakat, karena itu tidak boleh memagar pesantren, agar masyarakat bisa berhubungan langsung dengan santri, termasuk bisa melakukan perdagangan dengan santri yang jumlahnya hingga mencapai ribuan. Lihatlah pesantren Asembagus, Pesantren Banyumas atau Pesantren Cipasung. Dengan demikian masyarakat tidak hanya menerima limbahnya, tetapi bisa memperoleh keuntungan secara moril dan materiil dari kehadiran para santri.

Hanya pesantren yang menempatkan dirinya sebagai pesantren modern yang cenderung mengambil jarak dengan masyarakat. Pesantren hanya diperankan sebagai lembaga pendidikan, bukan sebagai lembaga masyarakat. Kecenderungaan itu yang banyak berkembang saat ini. Kalangan pesantren dan juga kiai menjadi kelompok monopoli. Namun tidak sedikit yang masih mempertahankan pola lama. Sehingga pesantren dan mayarakat bisa saling berkembang dan saling membantu.

Karena itu kehadiran ritel raksasa yang telah menjarah ke seluruh Nusantara itu perlu dipikirkan kembali. Semestinya pesantren dan kiai tidak bisa berpikir hanya untuk kepentingannya sendiri, tetap harus memikirkan kepentingan masyarakat. Dan termasuk santri sendiri, kalau selama ini santri belajar hidup hemat, mengkonsumsi apa adanya, maka dengan adanya fasilitas yang mewah santri tidak lagi zuhud, tidak lagi wirai, tetapi telah menjadi konsumtif, sebab kapitalisme telah masuk pesantren, yang kan mengubah selera santri, mengubah mental santri dan megubah moral santri, termasuk kiai sendiri.

Hal itu mesti diwaspadai, karena itu hadirnya supermarket dari perusahaan kapitalis, yang akan mengahancurkan mental, moral dan basis material kaum santri harus digagalkan. Hal itu dilakukan bukan karena emosional, tetapi lebih karena alas an social dan  ideologis, kalau tidak pesantren sengaja atau tidak, akan menjadi agen kapitalis dalam melakukan langkah pemiskinan missal.

Pesantren sejak awal gigih menolak imperialisme dan menjadi basis perlawanan terhadap penjajahan, karena itu mengambil tempat di pedalaman, tidak di perkotaan, semata untuk melayani masyarakat. Karena itu tidak mungkin pesantren mengubah ideology menjadi sarana penjajah. Sementara pesantren adalah sarana pembebasan dari penjajahan, baik fisik ma


Terkait