Sejak awal langkah pemblokiran situs-situs yang terindikasi radikal oleh pemerintah itu sudah diprediksi tidak akan efektif, bahkan bisa kontra produktif. Pertama, telalu banyak situs yang masuk daftar blokir. Ada 22 situs Islam yang disasar dan beberapa di antaranya masih tergolong “baik”. <>
Kedua, rekomendasi pemblokiran oleh BNPT kepada Kemkominfo itu bocor sebelum dilaksanakan, atau bisa jadi dibocorkan oleh pihak-pihak tertentu. Akibatnya isu pemblokiran ini segera mencuat dan memicu kontroversi. Bahkan saat isu pemblokiran itu sudah menjadi bahan perbincangan di televisi, sebenarnya pemblokiran itu belum direalisasikan dan para narasumber di televisi itu dengan santainya berbicara seperti pemblokiran itu sudah terjadi.
Para pendukung situs-situs yang terdaftar itu segera bereaksi dan memohon pembelaan masyarakat atas nama Islam. Mereka mengatakan, pemblokiran situs itu merupakan bentuk pengekangan terhadap dakwah Islam, meskipun sebenarnya mereka tidak terlalu senang memuat informasi mengenai pendidikan Islam di Indonesia, madrasah, pesantren, pengajian, tradisi keislaman, semangat berzakat, dan seterusnya. Situs-situs dimaksud selama ini lebih suka mengekspos isu-isu konflik di Timur Tengah dan bahkan pada titik tertentu ikut larut dalam permusuhan antar kelompok politik di sana.
Para pendukung situs-situs yang akan diblokir itu juga berteriak-teriak mengenai kebebasan pers dan HAM. Mereka juga fasih sekali melafalkan Universal Declaration of Human Rights 1948 dan pasal-pasal mengenai kebenasan pers, dua hal yang selama ini tidak terlalu diindahkan.
Payahnya lagi di hadapan khalayak ramai, BNPT dan Kemkominfo juga saling lempar tanggung jawab. BNPT berkilah pihaknya tidak punya wewenang untuk memblokir situs tertentu dan hanya memberikan rekomendasi. Sementara Kemkominfo mengatakan pemblokiran dilakukan atas rekomendasi BNPT.
Beberapa pekan setelah beredar isu pemblokiran, 22 situs masih bebas diakses. Ketidaksepahaman dan kontroversi membuat pihak Internet Service Provider (ISP) punya alasan untuk tidak melakukan tindakan apapun. Hanya satu-dua ISP yang melakukan pemblokiran, namun setelah itu dihidupkan lagi. Beberapa ISP malah menikmati kontroversi karena transaksi penjualan paket data internet meningkat.
Sementara itu para pengamat yang suka dengan teori konspirasi mengait-ngaitkan isu pemblokiran itu dengan penyerangan terhadap kelompok muslim di Yaman, yang tidak lain adalah Syiah. Situs-situs dimaksud sengaja “dibebastugaskan” untuk tidak menginformasikan aktivitas perang Timur Tengah. Pengamat lain mengaitkan isu pemblokiran dengan pengalihan isu menyusul kenaikan harga BBM. Ada juga yang menduga, pemerintah sudah mengincar situs-situs tersebut karena dalam Pilpres kemarin tidak mendukung pasangan Jokowi-JK, bahkan mereka terlibat dalam aktivitas kampanye negatif.
Kita tentu tidak terlalu sibuk dengan berbagai konspirasi seperti itu. Jika kembali ke maksud awal yakni antisipasi terhadap perkembangan radikalisme melalui media internet, maka pemerintah layak didukung. Aktifitas propaganda yang berisi kebencian, permusuhan, fitnah, pengkafiran, dan provokasi yang memicu aksi radikalisme saat ini lebih mudah dilakukan melalui new media dari pada lewat kegiatan ceramah-ceramah atau kegiatan cuci otak yang dilakukan dengan cara lama. Melalui media baru ini, para teroris yang mengklaim diri sebagai jihadis juga sudah sangat canggih dalam menyebarkan aksi simpatik dan rekayasa-rekayasa audio visual untuk keperluan merekrut pengikut baru.
Namun langkah pemblokiran yang buru-buru tidak cukup efektif. Pihak-pihak yang punya i'tikat tidak baik terhadap persatuan bangsa dan keutuhan NKRI juga sudah mulai rajin mengoleksi berbagai produk hukum Indonesia sebagai bahan untuk berkilah dan berkelit dari jeratan hukum. Undang undang mengenai pemberatasan terorisme tahun 2003 juga masih sangat “jadul” untuk mengatasi berbagai modus terorisme baru.
Sambil menunggu produk undang undang baru yang lebih progresif, beberapa konten dalam Undang-undang Nomor 11 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bisa dikenakan untuk mengatasi penyebaran radikalisme melalui internet. Pasal 28 ayat (2) UU itu misalnya menyebutkan salah satu perbuatan yang dilarang yakni “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Di luar 22 situs yang kemudian dikurangi menjadi 19 masih ada banyak situs berbahasa Indonesia yang jelas-jelas menyebarkan radikalisme. Di antaranya ada situs berbahasa Indonesia yang resmi mengibarkan bendera ISIS dan meneruskan berbagai pemberitaan resmi dari situs berita ISIS yang berbahasa Arab. Apakah yang seperti ini lolos dari pengawasan BNPT dan Kemkominfo? Untuk beberapa situs yang jelas-jelas menyebarkan radikalisme, tidak mempunyai alamat dan pengelola yang jelas, mestinya pemblokiran bisa dilakukan segera dan tidak perlu terlalu ekspos. Beberapa informasi yang bersumber dari situs-situs tidak jelas itu juga disebarkan melalui media sosial dan tentunya itu sangat berbahaya. (A. Khoirul Anam)