Risalah Redaksi

UU-Desa: untuk Kemaslahatan Nahdliyin

Jumat, 28 Desember 2012 | 22:11 WIB

Akhir 2012, PBNU sengaja mengangkat RUU-Desa sebagai isu paling relevan dalam membangun pengabdian publik, sekaligus menegaskan pemaknaan “al-jama’ah” dari Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) NU dalam acara diskusi publik.

<>

Kita bekerjasama dengan IRE (Institute for Research and Empowerment) Yogyakarta, yang diselenggarakan pada Kamis 27 Desember 2012 di lantai 8, Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya Jakarta.

Disebut paling relevan karena beberapa alasan yang teramat mendesak bagi perubahan. Pertama, UU Desa dipastikan sangat terkait dengan kehidupan mayoritas warga Bangsa Indonesia, yang 70 persen berdomilisi di kawasan pedesaan.

Kedua, realitasnya bahwa mayoritas warga pedesaan adalah Nahdliyin, dan pada saat yang sama mayoritas Nahdliyin adalah warga desa.

Ketiga, tidak dipungkiri bahwa pada tingkat sektoral, basis perekonomian pedesaan adalah pertanian yang sebagian terbesar pelakunya membaca doa qunut ketika shalat shubuh, tetapi kedaulatan, kemashlahatan dan kesejahteraannya telah dirampas oleh negara.

Keempat, secara khusus, kedaulatan rakyat desa atas segala sumberdaya alam telah habis diambil alih oleh negara.

Kelima, keprihatinan PBNU menyaksikan pimpinan pedesaan yang lebih berfungsi sebagai agen marjinalisasi pedesaan dan pertanian, bukan pelindung masyarakat desa dan rakyat tani.

Keenam, tergelitiknya PBNU ketika mencermati RUU-Desa yang nyaris tidak menjanjikan apapun kaitannya dengan kedaulatan dan kemashalahatan desa.

Yang terakhir, tentang RUU-Desa, karena kemiskinan substansinya bagi penguatan kedaulatan dan kemashlahatan, PBNU merasa perlu untuk mengajak para akademisi, aktifis gerakan, tokoh kultural, masyarakat sipil, dan khususnya para aktor strategis NU dalam kapasitasnya sebagai anggota dewan, birokrat dan profesional, para Kyai dan ibu Nyai di manapun berada untuk ikut cawe-cawe, sedikit urun-rembug, sebagai kepedulian akan kepentingan saudara-saudaranya, mayoritas warga Nahdliyin, yang sedang butuh benah kemashlahatan RUU.

Benah pelayanan Pemerintahan Desa tentu sangat diperlukan untuk bisa memberikan fungsinya secara paripurna dan berkeadilan bagi warganya. Akan tetapi, perihal hakiki yang menjadi hak mutlak berdasarkan asal-usul dan adat istiadat selama berabad lamanya, kini telah menguap dan menghilang akibat keserakahan pembangunan melalui pendekatan material, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kapitalistik. Beragam indikasi penguapan itu bisa diagregasikan dalam bentuk terampasnya kedaulatan, kesejahteraan dan kemashlahatan desa.

Mudah sekali mengukur beberapa kemunduran ini. Modal sosial yang kita bangga-banggakan, ternyata menjadi semakin langka keberadaannya setelah digusur dengan BLT, raskin dan pendekatan material lainnya. Gotong-royong, at-ta’awwun, yang mewarnai kehidupan pedesaan telah diruntuhkan secara sistemik oleh pendekatan keproyekan pembangunan desa. Semuanya terkikis, termasuk kepakaran dan sain lokal yang terkooptasi oleh akademisi.

Pada tingkat perekonomian, sektor pedesaan dengan keunggulan komparatifnya di bidang pertanian bahkan dibuntu kesempatannya untuk memiliki keunggulan kompetitif, sehingga produk-produk pedesaan nilai tukarnya (NTP) semakin merosot dari angka 100, dan kalah bersaing di kampung halamannya sendiri dengan barang-barang import seperti beras, jagung, garam, gula, daging sapi, kedele, dan aneka buah. Kedaulatan-kesejahteran-kemashlahatan telah dirampas tidak hanya dalam urusan tata agraria, tetapi sekaligus digilas dengan tataniaga.

Secara umum pedesaan dan pertanian dalam pentas perekonomian nasional hanyalah difungsikan menjadi korban pembangunan, yang antara lain sebagai: (i) Produsen pangan dan bahan baku murah; (ii) tumbal inflasi ketika Kabinet takut terjadinya inflasi dua digit; (iii) korban proteksi moneter terhadap industri berbasis import; (iv) korban bencana importasi yang membabibuta; (v) bemper ketenagakerjaan ketika negara tidak mampu menciptakan lapangan kerja; (vi) penyangga utama untuk memungkinkan UMR/UMP/UMK murah; (vii) penopang kelayakan industri non-pedesaan sehingga di kaya semakin kaya raya; dan (viii) penunjang kehidupan PNS dan Guru Besar sehingga bisa hidup mewah karena menikmati beras murah.

Krisis pembangunan pedesaan telah terjadi mulai tahun 1950, semenjak adanya Kementerian Pembangunan Masyarakat dengan Subajo sebagai menterinya, pada masa Kabinet Halim. Kemerosotan itupun kian abadi sampai dengan hari, yang model pembangunan pedesaan dalam konfogurai politik apapun hanya membuahkan semakin tergantung dan tidak berdayanya masyarakat pedesaan. Pemerdayaan dan penggantungan kehidupan semakin akut, sampai hari ini, dan mayoritas penderitanya adalah petani Nahdliyin, populasi warga NU.

Tidak berlebihan rasanya, ketika melihat persoalan mendesak yang riel terjadi di kalangan Nahdliyin tersebut memicu keprihatinan mendalam PBNU, dan kemudian menaruh harapan yang sungguh-sungguh bahwa kiranya RUU-Desa memerlukan pembenahan substantif segera untuk pantas menjadi Undang-Undang tentang Desa yang menjanjikan kemashlahatan, berbasis perspektif rehabilitatif terhadap rusaknya kedaulatan, kemerosotan kesejahteraan dan kemashlahatan bagi masyarakat desa dengan menempatkan fungsionalisasi sepadan. 

PBNU meyakini sepenuhnya bahwa: Tasharruful imam ‘ala -ro’iyyah manuthun bil mashlahah, kebijakan pemimpin atas rakyatnya harus gigih mengacu kepada kemaslahatan. PBNU faham benar akidah ini dan meneruskan kepada para pimpinan, tokoh dan hadirin yang berkumpul di majelis terhormat hari ini, untuk sudi kiranya menyambung harapan ini dengan kerja nyata menurut kebidangan masing-masing, membangun kedaulatan dan kemashlahatan. 

Rehabilitasi kedaulatan dan kemashalatan desa ini, sungguh merupakan intisari pembangunan nasional dan pengikat utama terwujudnya keadilan pembangunan bangsa, dan itulah pula kunci utama bagi keutuhan NKRI idaman Nahdlatul Ulama. Insya Allah. (Mochammad Maksum Mahfudz/Ketua PBNU)

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Terkait