Kesehatan

Dampak Psikologis Diskriminasi di Kelas Terhadap Perkembangan Anak

Rabu, 22 Januari 2025 | 08:00 WIB

Dampak Psikologis Diskriminasi di Kelas Terhadap Perkembangan Anak

Ilustrasi kesehatan mental. Sumber: Canva/NU Online

Anak-anak di jenjang pendidikan dasar merupakan investasi masa depan. Di sekolah dasar (SD), menengah (SMP), atau madrasah (MI dan MTS), mereka belajar sambil mengembangkan otak, kesehatan mental, serta menerima kasih sayang. Bakat dan minat mereka juga memerlukan bimbingan dari guru sebagai pendidik.


Namun, jika siswa diperlakukan berbeda karena tidak mampu membayar uang sekolah, hal ini dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman. Apa dampak jangka panjang dari perlakuan diskriminatif tersebut terhadap anak saat belajar bersama teman-temannya?


Bagaimana otak anak merespons tekanan akibat perlakuan yang tidak menyenangkan? Apakah Thibbun Nabawi dapat memberikan pandangan terkait pemrosesan respons dalam otak anak saat menghadapi situasi tersebut?


Saat anak bersekolah dan berinteraksi dengan guru serta teman-temannya, terjadi proses berpikir dan refleksi diri. Mereka merenungkan pelajaran yang diajarkan guru serta perlakuan yang diterima dari lingkungan sekitarnya. Selain itu, perasaan mereka berkembang melalui pengalaman-pengalaman tersebut.


Otak anak merespons interaksi dengan baik karena dalam masa pertumbuhan, otak terus berkembang. Salah satu bagian otak yang berperan penting adalah mirror neuron atau sel saraf cermin, yang mendukung kemampuan berpikir, refleksi diri, serta perilaku empati, sosial, dan imitasi.


Mirror neuron memungkinkan anak belajar melalui imitasi, mencerminkan bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan emosi. Sel ini menjadi dasar pembelajaran sosial manusia dan memainkan peran penting dalam kehidupan sosial. Penelitian menunjukkan bahwa mirror neuron mulai aktif sejak lahir dan terus berperan hingga masa remaja.


Dalam beberapa penelitian, ditemukan bahwa area otak yang sama aktif pada seorang pengamat seperti pada individu yang terlibat dalam suatu aktivitas (Roaten & Roaten, 2012, Adolescent Brain Development: Current Research and the Impact on Secondary School Counseling Programs, Journal of School Counseling, 10 (18), hlm. 8).


Penelitian menunjukkan bahwa remaja dapat "mengalami" perasaan orang lain, baik emosi positif maupun negatif. Hal ini memungkinkan mereka mengembangkan kemampuan untuk berempati, termasuk terhadap teman yang mengalami kegagalan (hlm. 9).


Temuan ini memiliki implikasi signifikan dalam hubungan di kelas. Siswa tidak hanya dipengaruhi oleh keadaan internal teman-temannya, tetapi juga oleh keadaan emosional guru mereka (Dunne, 2020, The Influence of Mindfulness on Teacher-Student Relationship, Classroom Climate, and School Culture, disertasi doktoral, Saint John’s University New York, hlm. 16).


Jika seorang anak diperlakukan berbeda oleh guru, seperti dibedakan tempat duduknya, hal ini dapat menciptakan ketidakseimbangan relasi antara pendidik dan siswa. Penelitian menunjukkan bahwa guru dapat mengurangi ketidakseimbangan ini dengan berinteraksi secara setara, misalnya dengan duduk di lantai bersama murid saat mengajar (Tyndall, 2021, UNICEF Ethical Considerations When Applying Behavioural Science in Projects Focused on Children, hlm. 30).


Perlakuan tidak adil, seperti perbedaan tingginya tempat duduk, dapat menimbulkan tekanan emosional pada anak. Jika hal ini terjadi, bagian otak yang seharusnya berkembang, seperti mirror neuron, justru dapat terhambat. Padahal, mirror neuron berperan penting dalam perkembangan empati, sosial, dan pembelajaran anak.


Otak, sebagai ciptaan Allah, adalah organ vital yang perlu dihormati dan dimuliakan. Dalam Thibbun Nabawi, otak bagian tengah memiliki fungsi penting dalam berpikir dan refleksi diri. Al-Hafiz Adz-Dzahabi menyatakan dalam kitabnya:


"Allah SWT menjadikan otak manusia terdiri dari tiga bagian: bagian depan berfungsi untuk imajinasi, bagian tengah untuk berpikir dan refleksi, serta bagian belakang untuk dzikir" (At-Thibbun Nabawi, [T. Tp, Dar Ihya-ul ‘Ulum, 1990], hlm. 301).

 

Pernyataan dalam kitab At-Thibbun Nabawi sangat relevan dengan perkembangan ilmu neurosains modern. Pemanfaatan ilmu neurosains dapat menjadi landasan penting dalam menjaga kesehatan mental generasi muda. Anak-anak dan remaja yang otaknya sehat akan memiliki ketangguhan mental saat mereka tumbuh dan berkembang menjadi dewasa.


Penelitian dari laboratorium Universitas Butler di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa murid-murid sekolah dasar dapat diajak untuk melakukan relaksasi di sela-sela proses belajar. Relaksasi ini dilakukan dengan cara sederhana, seperti duduk bersama di lantai atau berbaring sambil menutup mata dengan irisan mentimun.

 

Potongan mentimun, yang memiliki efek anti-radang, dapat mengurangi stres otak dan mental saat ditempelkan di mata anak-anak yang sedang beristirahat. Selain itu, lantai berkarpet yang diberi aromaterapi menciptakan suasana santai dan segar, membantu otak anak-anak menjadi lebih rileks.


Isu kesehatan mental di sekolah perlu disosialisasikan kepada guru dan orang tua. Pihak pengelola sekolah dan madrasah, termasuk yayasan serta dinas pendidikan, harus meningkatkan upaya menjaga kesehatan mental anak dan remaja. Guru, sebagai personel kunci, harus memberikan perhatian khusus pada kenyamanan perasaan siswa saat belajar.


Apabila guru ingin menciptakan suasana belajar yang nyaman, maka pendekatan seperti relaksasi sebaiknya dilakukan untuk seluruh siswa, bukan hanya untuk satu anak tertentu. 

 

Dengan cara ini, empati terhadap sesama teman dan rasa hormat terhadap guru dapat ditanamkan. Lebih jauh, jika kesehatan mental anak terjaga sejak usia dini, mereka akan tumbuh menjadi pribadi tangguh yang mendukung ketahanan generasi bangsa.

 


Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti farmasi