Teks Deklarasi Hubungan Islam-Pancasila pada Munas NU 1983
Rabu, 16 Desember 2015 | 06:00 WIB
Banyak di antara ulama NU seperti KH Wahid Hasyim, KH Masykur dan lain sebagainya menjadi anggota BPUPKI yang bertugas merumuskan dasar negara dan undang-undang dasar. Dengan sendirinya mereka ikut dalam merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Karena itu NU membela hasil kesepakatannya sendiri saat Indonesia dihadang oleh berbagai pemberontakan yang hendak mengganti NKRI. Tetapi celakanya di tangan Orde Baru Pancasila telah menjadi alat politik yang menentukan, sebagai sarana untuk mendiskiminasi dan menstigma kelompok lain. NU setia pada Pancasila karena itu menolak segala penyimpangan penafsiran dan pengamalan Pancasila serta penerapan di luar batas seperti itu.
Sebagai salah satu perumus Pancasila, NU menolak penafsiran tunggal Pancasila yang dimonopoli Orde Baru melalui P4 dan sebagainya. Pancasila harus diletakkan sebagai dasar negara menjadi milik bersama sebagai falsafah bangsa. Ketika Orde Baru mendesak semua organisasi tidak hanya organisasi politik, tetapi juga organisasi kemasyarakatan untuk menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas, maka banyak organisasi yang curiga, enggan dan menolak, terutama ormas keagamaan, tidak hanya Islam tetapi juga agama yang lain. Melalui pembicaraan yang intensif antara KH. As’ad Syamsul Arifin dan juga KH Ahmad Siddiq dengan Presiden Soeharto bahwa Pancasila tidak akan menggeser agama dan agama tidak akan dipancasilakan, maka NU mau menerima Pancasila sebagai asas organisai, tanpa harus meninggalkan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai dasar akidahnya.
Kemudian penerimaan itu dirumuskan dalam sebuah piagam yang sangat komprehensif dan konklusif dalam sebuah Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Deklarasi penting itu dirumuskan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada tahun 1983. Pernyataan NU dianggap kontroversial dan menggemparkan saat itu. Bagi yang tidak tahu argumennya akan menentang, tetapi yang mengerti argumennya yang begitu rasional dan sistematis serta proporsional itu banyak yang tertegun dan simpati.
Tidak sedikit kalangan ormas Islam yang lain berterima kasih pada NU yang mampu berpikir cerdik dan strategis dalam memecahkan persoalan sangat pelik yakni hubungan agama dengan Pancasila, tetapi dengan kecemerlangannya NU mampu meletakkan hubungan yang proporsional antara agama dan Pancasila, sehingga mereka bisa menerima Pancasila secara proporsional pula. Bahkan agama-agama lain merasa sangat berterima kasih pada NU atau kemampuannya merumuskan hubungan Agama dengan Pancasila melalui argumen yang rasional dan mendasar baik secara syar’i maupun secara siyasi.
Ketika undang-undang mengenai penerapan asas tunggal diberlakukan pada tahun 1985, maka jalan yang dirintis NU telah mulus, sehingga hampir semua ormas besar dan agama-agama resmi menerimanya. Hanya beberapa ormas Islam sempalan yang masih menentang Pancasila. Itulah jasa besar NU dalam menegakkan Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara Republik Indonesia serta dasar bagi ormas yang ada. Berikut bunyi lengkap deklarasi fenomenal tersebut:
Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam
Bismillahirrahmanirrahim
- Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesi bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
- Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
- Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.
- Penerima dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
- Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama
Sukorejo, Situbondo 16 Rabi’ul Awwal 1404 H
(21 Desember 1983)
Sumber: Abdul Mun’im DZ (Editor), Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011 (Jakarta: Setjen PBNU-NU Online)