Secara istilah, dakwah dapat dimaknai sebagai segala bentuk aktivitas penyampaian ajaran Islam kepada orang lain dengan berbagai cara bijaksana agar memahami dan mengamalkan ajaran Islam dalam semua lapangan kehidupan. Berbagai cara bijaksana itu mestilah dilaksanakan dengan seperangkat ilmu yang dikenal sebagai ilmu dakwah.
Di dalam berdakwah, setiap ulama juga memiliki cara masing-masing. Seperti halnya yang dilakukan oleh ulama asal Kota Solo, Allah yarham Habib Anis bin Alwi Al Habsyi. Konsep dakwah cucu muallif kitab Maulid Simtuddurar tersebut, yakni setidaknya ada empat hal yang menopang dalam kegiatan dakwah, sebagaimana yang pernah ia sampaikan. Tiga hal pertama pernah penulis terima dari salah satu muridnya, KH Ahmad Baidlowi (Rais PCNU Sukoharjo, Jawa Tengah tahun 2013-2015).
Pertama, yakni masjid sebagai tempat ibadah. Sebagaimana yang banyak diketahui, Habib Anis meneruskan kepemimpinan Masjid Riyadh, yang dibangun oleh ayahnya, hingga ia wafat tahun 2006. Di Masjid Riyadh yang terletak di Gurawan, Pasar Kliwon, Surakarta, selain berfungsi untuk shalat berjamaah juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan rutin seperti kajian kitab, pembacaan kitab maulid, haul, dan lan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut masih tetap lestari hingga kini.
Kedua, zawiyah yang merupakan sebuah ruangan untuk menerima tamu juga mengadakan kajian kitab. Di situlah Habib Anis menggembleng akhlak para murid serta jamaahnya, sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Hal ketiga yakni toko. Beberapa bangunan toko yang terletak di kompleks masjid Riyadh, digunakan untuk menjadi penggerak ekonomi juga dakwah.
Sedangkan yang terakhir yakni perpustakaan, yang terletak di dalam kompleks Masjid Riyadh, berdekatan dengan Zawiyah. Kitab yang dimiliki oleh Habib Anis hampir bisa dikatakan lengkap. Melalui perpustakaan itu pula, Habib Anis juga murid-muridnya dapat membaca literature-literatur yang dibutuhkan untuk menjawab pelbagai persoalan keagamaan.
Terkait dengan hal yang terakhir ini, salah satu cucu Habib Anis, Habib Muhammad bin Husen Al Habsyi mengungkapkan sosok Habib Anis sebagai orang yang sangat mencintai ilmu.
“Ketika usia muda, beliau gemar sekali membaca buku. Tiap malam ketika istrinya tidur, beliau membaca kalam Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi (kakek Habib Anis) sampai beliau terkadang menangis ketika membaca untaian nasehat kakeknya. Ketika istrinya terbangun beliau langsung mengusap airmatanya supaya tidak terlihat oleh istrinya,” ujarnya.
Bahkan ketika usia sudah mulai tua, Habib Anis masih haus kepada ilmu. “Beliau pernah berencana untuk membeli laptop dan belajar mengetik untuk bisa mencatat ilmu yang didapatnya. Beliau juga berencana untuk datang pameran kitab di Mesir supaya bisa membeli kitab-kitab langka yang dijual disana,” imbuh Habib Muhammad.
Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat pada tanggal 5 Mei 1928. Ayahnya, Habib Alwi, merupakan putera dari Habib Ali Al Habsyi (Muallif Simtuddurar) yang hijrah dari Hadramaut Yaman ke Indonesia untuk berdakwah. Sedangkan ibunya bernama Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo, sampai akhirnya menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.
Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Habib Anis tumbuh menjadi seorang pemuda nan alim dan berakhlak luhur. Habib Ali Al-Habsyi, adik beliau menyebut kakaknya seperti “anak muda yang berpakaian tua”.
Dua minggu pasca-Lebaran tahun 2006, Habib Anis Al-Habsyi wafat. Sontak, kabar tersebut membuat para murid dan pecinta beliau yang tersebar di penjuru dunia, bergegas untuk ikut memberikan penghormatan terakhir kepada sang guru. Kota Solo di hari wafat Habib Anis diserbu puluhan ribu pentakziah.
Dengan diiringi tangisan dan air mata, mereka melepas kepergian cucu Muallif Simtuddurar tersebut. Ya, kepergian Habib Anis yang memiliki senyuman yang khas dan ngangeni ini memang patut menjadi duka bagi semua. Lahul fatihah.
Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Fathoni Ahmad