Persahabatan antara KH Wahid Hasyim, KH Zainul Arifin dan A. A. Achsien sudah terjalin sejak pertengahan tahun 30an saat ketiganya mulai aktif di Gerakan Pemuda (GP) Ansor. Waktu itu Kiai Wahid baru kembali dari belajar di Arab Saudi, sedangkan Zainul Arifin sudah menjadi dai muda yang giat berdakwah di wilayah Batavia dan Jawa Barat. Sedangkan A. A. Achsien termasuk tokoh politisi NU yang kurang dibahas kiprahnya. Jamaluddin Malik kemudian melengkapi jadi kwartet empat sahabat.
Mengacu pada tulisan Abdullah Zuma redaksi NU Online, tentang Achsien, diketahui bahwa nama lengkapnya Alwi Abubakar Achsien. Selengkapnya yang benar H. Raden Alwi Abubakar Achsien. Lahir di Kudus, 12 Juli 1915. Ketiga sahabat memang seumuran dengan Zainul Arifin kelahiran 1909 dan Kiai Wahid 1914. Ketiganya juga aktif menulis. Achsien pernah menggeluti profesi wartawan untuk koran yang diterbitkan oleh orang Tionghoa. Sebelum Jepang datang dia menikah dengan perempuan asal Bandung dan sering mondar-mandir Kudus dan Bandung sebelum akhirnya menetap di Kota Kembang.
Zainul Arifin dan Achsien selain sama-sama lulusan sekolah dasar berbahasa Belanda, HIS, juga menyukai kesusasteraan. Karya-karyanya dikategorikan sebagai Sastra Cina Peranakan. Wahid Hasyim, meskipun berlatar belakang pesantren namun belajar privat bahasa Belanda dari orang Belanda langsung. Jadilah trio intelektual muda NU modern ini tambah erat bersahabat. Tokoh perfilman nasional Jamaluddin Malik (kelahiran 1917) kemudian menggenapi kelompok ini menjadi kuartet.
Saya berasumsi Achsien adalah benar-benar seorang Cina Peranakan, yang mungkin dari semenjak kakeknya (Alwi) sudah menjadi mualaf. Jadilah empat sahabat ini membentuk kelompok unik, Jawa Timur, Jawa Tengah Cina Peranakan, Tapanuli Tengah dan Sumatera Barat.
Membentuk Trio Waras
Jamaluddin Malik sudah lebih dulu terjun ke dunia bisnis sejak awal 1950-an, selain tetap ajeg menggeluti dunia film. Dia juga mendorong dan membantu ketiga sahabatnya untuk membuka usaha sendiri, berbisnis. Awal tahun 1950an lahirlah PT. WARAS yang merupakan gabungan inisial nama-nama WA (hid Hasyim) ARifin dan AchSien. Kata Waras itu diambil dari kosakata bahasa Jawa yang bermakna sehat. Perusahaannya memang bergerak di bidang kesehatan, tepatnya bidang farmasi.
"Sebagai anggota komisi kesehatan DPR, kami pernah meninjau pabrik obat milik WARAS di daerah Lembang, Bandung, pabriknya terkesan sangat modern pada masa itu" kenang Asmach Syachruni, mantan Ketua Muslimat NU terlama yang juga sahabat keluarga KH Zainul Arifin. Memang WARAS bekerja sama dengan produsen obat-obatan terkemuka dunia asal Italia, Carlo Erba.
Carlo Erba itu sendiri diambil dari nama pendirinya, seorang dokter asal Milan, Italia yang hidup hanya selama 35 tahun saja (1853 - 1888). Pabrik obat-obatan yang sempat didirikan Carlo Erba diteruskan oleh keturunan-keturunannya. Pada 1937 perusahaan kimia obat-obatan ini mulai meneliti dan mengembangkan obat-obatan berbasis tumbuhan herbal. Perusahaan ini kemudian mulai melakukan ekspansi dengan menerima pengagenan kembali (reagent) ke seluruh dunia. Untuk Indonesia WARAS dipercaya untuk itu.
Dtinggal Sahabat
Jamaluddin Malik menawarkan sebuah bangunan di kawasan Menteng Raya yang sebelumnya digunakan sebagai bangunan gedung Perfini (Perfilman Nasional Indonesia) untuk digunakan sebagai kantor WARAS di Jakarta. Kemudian hari bangunan terletak di Jl. Menteng Raya 24 itu dibeli oleh WARAS dari Jamaluddin.
Namun, ketika perusahaan sudah mulai berkembang dan menguntungkan, Kiai Wahid Hasyim mengalami kecelakaan hingga wafat karena kecelakaan mobil pada 19 April 1953. Zainul Arifin dan Achsien meneruskan perusahaan dan tetap mempertahankan nama WARAS.
Dalam Katalog Induk Koleksi Sastera Cina Peranakan terbitan Perpustakaan Tun Seri Lanang University Kebangsaan Malaysia (1988) tercantum empat karangan A. A. Achsien lainnya: Kesopanan Barat (Surabaya, Tan, 1940), Selendang Soetra, ( Batavia, tanpa penerbit, 1931), Serakah (tanpa kota, tanpa penerbit, 1938), Tamparan - Takdir (Surabaja, Tan's Drukkery, 1942). Karya-karya Achsien banyak diulas para ahli sebagai bagian penting dari perkembangan kesusasteraan Cina Peranakan bukan hanya di tanah air melainkan juga di Asia Tenggara.
Karier Politik A.A. Achsien
Masih kurang jelas bagaimana A. A. Achsien dari Ansor bisa menjadi petinggi PBNU. Kalau ditelisik dari keterangan Kiai Saifuddin, agaknya karier organisatoris Achsien bermula dari ketekunannya di bidang tulis menulis. Ditambah lagi latar belakang pendidikan modernnya menempatkannya di kalangan elit intelektual muda NU. Waktu NU bergabung dalam Partai Masyumi, Achsien terlibat aktif di dalamnya. Namanya mulai muncul ketika menjadi anggota DPR Negeri Pasundan zaman Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 - 1950.
Tetap aktif berbisnis, tahun 1952 dia menjadi anggota Dewan Redaksi Bulletin Nahdlatul Oelama (BNO). Tahun yang sama namanya tercantum dalam Badan Eksekutif PBNU (Tanfidziyah) sebagai Ketua Bagian Ekonomi. Sekira saat itu pula Achsien bergabung dalam WARAS.
Tahun berikutnya, 1953, dia termasuk tokoh yang mendukung sikap NU untuk memisahkan diri dari Masyumi dan ikut mendirikan Partai NU. Sebelumnya, tahun yang sama, Achsien mengurusi sahabatnya KH Wahid Hasyim yang mengalami kecelakaan mobil di Cimindi dekat Bandung dalam perjalanan menuju Sumedang. Achsien membawa sendiri tubuh Wahid Hasyim ke RS Baromelus dan menyiapkan jenazahnya untuk dibawa ke Jakarta ketika akhirnya Kiai Wahid wafat.
Terhitung mulai 1 November 1953, Presiden Sukarno melalui Keppres No. 194/1953 menunjuk A. A. Achsien sebagai anggota Dewan Penasehat Bank Indonesia untuk masa tugas selama 5 tahun. Sedangkan di PBNU dia duduk sebagai anggota tanfidziyah selama 1954-1956 selain menjadi Ketua Fraksi di DPR.
Panitia Negara
Setelah pemilu perdana Indonesia tahun 1955, Achsien bukan hanya mempertahankan kedudukannya sebagai anggota DPR dan Ketua Fraksi NU, melainkan juga terpilih untuk duduk sebagai anggota Fraksi NU di Majelis Konstituante. Malahan Sukarno menunjuknya untuk duduk sebagai anggota Panitia Persiapan Persiapan Sidang Konstituante lewat Keppres No.95 A/1956.
Tahun depannya, 1957, Achsien juga ditunjuk Presiden Sukarno untuk duduk sebagai anggota Panitia Negara Penasehat Penyelesaian Pembatalan Konferensi Meja Bundar berdasar Keppres RI no.171 tahun 1957.
Di PBNU, jabatannya meningkat menjadi Wasekjen untuk masa khidmah 1962 - 1967. KH Zainul Arifin wafat 2 Maret 1963. Selanjutnya, A. A. Achsien menjabat Wakil Ketua Dewan Partai selama 1967 - 1971. Jamaluddin Malik meninggal 8 Juni 1970. Tinggallah Achsien yang tinggal dari kuartet sahabat. Presiden Suharto kemudian menunjuknya sebagai Duta Besar untuk Kerajaan Iran dari bulan November 1972 hingga 1976.
H. Raden Alwi Abubakar Achsien wafat 3 tahun kemudian, tepat di hari ulang tahunnya ke 64 pada 12 Juli 1979.
Penulis: Ario Helmy
Editor: Abdullah Alawi