Tokoh

Mama Ajengan Adang Badrudin, Karya, dan Wasiat NU

Selasa, 4 Agustus 2020 | 11:00 WIB

Mama Ajengan Adang Badrudin, Karya, dan Wasiat NU

Mama Ajengan Adang Badrudin

Ribuan santri dan masyarakat Purwakarta mendatangi Cipulus, Senin (3/8) siang. Saya menyaksikan hal itu melalui live streaming Facebook aktivis Gerakan Pemuda Ansor. Mereka berdesakan berlomba menyampaikan penghormatan terakhir kepada panutan mereka, almukaram Mama Ajengan KH Adang Badrudin atau Abah Cipulus, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikamussalafiyah. 


Tak hanya warga Purwakarta, tetapi dari Subang, Bandung, Cimahi, Karawang, dan sekitarnya juga tak mau ketinggalan. 


Ketua PWNU Jawa Barat KH Hasan Nuri Hidayatullah bersaksi bahwa almarhum adalah sosok yang tegas dan bijaksana, punya komitmen yang besar kepada Ahlussunah wal Jamaah an-Nahdliyah. Menurut Gus Hasan, almarhum mengerahkan putra-putri dan menantunya untuk memperkuat NU di segala lini, baik di struktur maupun di kultur. 


Tentu saja, wafatnya Abah Cipulus merupakan kehilangan besar bagi warga NU, tak hanya Purwakarta, melainkan Jawa Barat sebab selama ini bagi Gus Hasan, almarhum merupakan sepuh yang menjadi rujukan Nahdliyin. 


“Atas nama keluarga besar PWNU Jawa barat kami ucapkan turut berduka cita atas wafatnya beliau, semoga wafat beliau dalam keadaan husnul khatimah, segala amal salehnya di terima oleh Allah dan keluarga besar yang di tinggalkan di berikan oleh Allah kesabaran... sebagai generasi yang meneruskan perjuangan beliau baik di pondok pesantren maupun di NU mari kita contoh nilai-nilai uswah yang sudah beliau bangun dalam membumikan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah di Purwakarta pada khsususnya dan bumi Jawa Barat pada umumnya...”


Riwayat Singkat 
Ajengan Adang lahir di Desa Simpang, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat dari pasangan bapak Cece Tapsunji (dalam riwayat lain disebutkan Cece Saptunji) dan ibu Uju Juariyah pada 23 Juli 1948. Ia merupakan bungsu dari tiga bersaudara. 


Pendidikan agama dimulai dari ibu dan saudara-saudara orang tuanya sebab sang ayah telah meninggal dunia pada saat ia masih bayi. Masa kecilnya merupakan masa-masa prihatin, ia kerap kali berpindah tangan pengasuh dari satu saudara ke kerabat yang lain. 


Kemudian pada masa remajanya Adang menghabiskan waktu dengan menimba ilmu di Pondok Pesantren Al-Hikamusslafiyah Cipulus yang di kemudian hari dipimpinnya. Waktu itu, Cipulus diasuh Mama Ajengan Izzudin yang di kemudian hari menjadi mertuanya.


Ajengan Adang tak pernah menuntut ilmu ke pesantren lain dalam waktu lama. Hanya beberapa bulan saja ketika mengikuti pasaran atau pesantren kilat, semisal di Cibeureum Sukabumi memperdalam ilmu falaq dan manthiq, ke Pesantren Cikole untuk memperdalam fiqih, dan ke Manonjaya untuk memperdalam Tauhid. 


Sebetulnya antara Ajengan Adang dan Mama Izzudin masih memiliki hubungan darah masih sepupu. Persaudaraan kemudian diperkuat dengan pernikahan. Ajengan Adang menikahi putri Mama Izzudin pada tahun 1971. Dari pernikahan tersebut, Ajengan Adang dikaruniai empat putra dan empat putri. 


Setelah menjadi menantu, Ajengan Adang tinggal di kompleks Pesantren Cipulus. Sebagai ajengan muda, ia memanfaatkan waktunya untuk melanjutkan mereguk ilmu Mama Izzudin. Pada saat yang sama, Mama Izzudin mempercayai santri yang menantunya it untuk memulai mengajar santri terkait beragam bidang ilmu yang lazim diajarkan pesantren. 


Namun, di kemudian hari Ajengan Adang memberi penekanan khusus kepada ilmu tauhid dan fiqih. Hal itu ditunjukkan dengan membuka pasaran kitab Tijanud Darary dan Fathul Qarib tiap bulan Syawal. 


Sebetulna nu diaos ku Abah bukan hanya fikih dan tauhid, tetapi hampir semua fan. Hanya saja, setiap pasaran tahunan bulan Syawwal, Abah membaca Tijan dan Fathul Qarib karena barangkali dua kitab atau fan tersebut dirasa paling dibutuhkan masyarakat luas, karena isinya merupakan pelajaran mendasar bagi seorang muslim,” jelas seorang cucunya Ajengan Adang, Hilmi Sirojul Fuadi, Selasa (4/8). 


Selama di Cipulus, Ajengan Adang telah mengajar pasaran dua kitab tersebut selama 41 kali sejak 1978-2000. Itu artinya 41 tahun. Seharusnya 42 kali. Tahun ini pasaran Syawal kedua kitab itu absen mengingat wabah corona melanda. 


Sejumlah Karya Tulis 
Di tengah kesibukan sebagai ajengan yang rutin mengajar ribuan santri, serta warga masyarakat sekitarnya, Ajengan Adang juga menuangkan pikirannya dalam karya tulis. Berikut ini beberapa karya yang berhasil dikumpulkan, di antaranya:  

1.    Aurad Jamaah Ibu-ibu Majelis Ta’lim Al-Hikamus Salafiyah, Cipulus Nagrog, Wanayasa 
2.    Cacarakan Aqaidul Iman 
3.    Mabadi Ilmu Tauhid sareng Pembahasan Bismillah 
4.    Nadham Durusul Fiqhiyah 
5.    Nadham Aqaidul Iman fi Aqidatil Awam 
6.    Al-Aurad wal-ad’iyah wal-Ahzab ‘ala Pesantren Cipulus
7.    Ieu Nadham Sunda Aqaidul Iman
8.    Pelajaran Bacaan Shalat Nganggo Ma’na Sunda 


Selain karya-karya tersebut, Ajengan Adang juga menggubah ragam syair. Salah satu di antaranya adalah Syair NU. 


Wasiat NU kepada Murid-muridnya 
Ketua PWNU Jawa Barat KH Hasan Nuri Hidayatullah bersaksi bahwa Ajengan Adang adalah sosok yang sangat mahabbah (cinta) kepada NU.


“Tidak hanya beliau, tapi keluarga besar nya yaitu anak bahkan mantu beliau juga di gerakkan untuk aktif dalam ber NU di berbagai lini bahkan tidak hanya di struktur tapi juga kultur...,” kata Pengasuh Pondok Pesantren As-Shiddiqiyyah Karawang ini. 


Cucu Ajengan Adang, Hilmi Sirojul Fuadi, menunjukkan bukti kuat terkati kecintaan kakeknya kepada NU, yaitu pesan tertulis untuk alumni Pesantren Cipulus; 


Aranjeun kudu jadi pemuda anu teguh, kokoh, kuat, membela Islam Ahlussunah wal Jamaah anu persi NU sanajan loba rintangan, godaan jeung hahalang, ulah jadi pemuda cengeng, miris, elehan, insyaallah aranjeung ditulungan ku Allah. 


Jeung aranjeun ulah pernah eureun ngala elmu ti ulama Ahlussunah wal Jamaah sampai anjeun maot. Insyaallah aranjeun jadi jalma anu salamet jeung beruntung. 
Sakitu ti Abah. 


Penulis: Abdullah Alawi 
Editor: Alhafiz Kurniawan