Tokoh

Hj. Hadidjah Soemadilaga: Pejuang Laswi dan Muslimat NU Jawa Barat

Jumat, 22 November 2024 | 14:44 WIB

Hj. Hadidjah Soemadilaga: Pejuang Laswi dan Muslimat NU Jawa Barat

Hj. Hadidjah Soemadilaga (Hadidjah Imron Rosjadi (Foto: Dokumentasi Keluarga/Kevin Soemadilaga)

Tokoh perempuan ini asal Jawa Barat ini pada masa kecilnya dibesarkan di keluarga menak (bangsawan) Sunda, masa remajanya bergabung dengan kelaskaran wanita, menikah dengan seorang pimpinan pemuda NU yang juga diplomat sekaligus politikus,  sementara di masa tuanya aktif di salah seorang pimpinan di Muslimat NU. 


Tokoh perempuan tersebut adalah Hj. Hadidjah, istri dari KH Imron Rosyadi Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor periode 1954 sampai 1963, bertugas di Irak (1947 - 1950) dan Arab Saudi (1950 - 1952), dan pernah menjabat Kuasa Usaha di Kedutaan Besar RI di Swiss (1955) dan Arab Saudi (1958).


Hadidjah yang sebelumnya dikenal sebagai Hadidjah Soemadilaga kemudian dikenal sebagai Hadidjah Imron Rosyadi dan mendampingi suaminya sampai akhir hayat.


Keturunan Menak, Pejuang Lakar Wanita Indonesia 
Dari beberapa catatan, Hadidjah lahir di Labuan, Banten  pada19 Mei 1930. Ayahnya adalah seorang Wedana Soreang, Bandung, Rd. Soemadilaga. Sementara ibunya R. Hj Retnasari keturunan Ki Astamanggala atau Rd, Wiraangunangun Bupati pertama Bandung (1641-1681), dan dari jalur ayahnya yaitu Rd. Soemadilaga bersambung pula ke atasnya ke keluarga Ki Astamanggala.


Berdasarkan formulir pendaftaran pertemuan eks Laswi tahun 1976, Jakarta, ditemukan informasi bahwa Hadidjah di masa remaja, pernah menjadi anggota Kelaskaran Wanita (Laswi) dari 15 Oktober 1945 sampai 21 Juli 1947, tepatnya di daerah Lembang, Bandung Utara.


Laswi adalah gerakan kaum perempuan yang membantu para pejuang BKR/TKR. Laswi dipimpin Sumarsih Subiyati atau biasa dipanggil Yati Arudji, istri Arudji Kartawinata, komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Divisi III Jawa Barat yang di kemudian hari menjadi Divisi Siliwangi. 


Annisa Mardiani pada sebuah tulisan menyebutkan, pada 24 Maret 1946, Bandung dibumihanguskan, kemudian dikenal dengan Bandung Lautan Api. Strategi ini dilakukan sebagai respons atas ultimatum Sekutu agar pasukan Indonesia meninggalkan Bandung selatan selambatnya 24 Maret 1946 pukul 00.00 WIB. Bandung dibumihanguskan pada pukul 21.00 WIB, tiga jam lebih awal dari rencana.


Ketimbang membiarkan Bandung jadi basis Sekutu, Musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) –perubahan dari Markas Dewan Pimpinan Perjuangan (MDPP) – bersepakat membumihanguskan Bandung. Pilihan ini juga realistis karena kekuatan pejuang Republik tak akan sanggup melawan Sekutu. Masyarakatnya diminta mengungsi.


MP3 merupakan badan koordinasi 61 kesatuan perjuangan di seluruh Jawa Barat. Salah satunya Laskar Wanita Indonesia (Laswi) yang dibentuk pada 12 Oktober 1945 oleh Sumarsih Subiyati biasa dipanggil Yati Aruji, istri Aruji Kartawinata, komandan Badan Kemanana Rakyat (BKR) Divisi III Jawa Barat yang kelak menjadi Divisi Siliwangi. Anggota Laswi beragam, dari gadis, ibu rumah tangga hingga janda, umumnya berusia 18 tahun ke atas.


Saat itu di dalam tubuh Laswi terdapat Kepengurusan Barisan Pemuda Putri (BPP) yang dipimpin Nyai Hadidjah Soemadilaga yang dilantik langsung oleh Kol. Sukanda Bratamenggala dari BKR (Badan Keamanan Rakyat). 


Di masa setelah kemerdekaan dan terjadinya Agresi Militer, Barisan Pemuda Putri berperan menjadi Dapur Umum, Palang Merah dan menjadi kurir/ penghubung antar Pasukan BKR/TKR.


Pada sebuah catatan singkat Sejarah Pemuda Putri Bandung Utara, diceritakan sejarah berdirinya Barisan Pemuda Putri (BPP) dan para pengurusnya saat itu:


Ketua          : Mies Hadidjah Soemadilaga 
Wakil ketua : Nani
Sekertaris   : Tati
Bendahara  : Yati 
Pembantu   : Martini 


Diceritakan pula tentang gugurnya para pejuang, diantaranya Saudara Hamid dan Badjuri pada 19 Desember 1945, Saudara Soepardi Sujud dan Sulaeman di Singaparna dan Ukas di Rancaekek. 


Dampingi Tokoh NU
Sukar mencari informasi terkait pertemuan antara Hadidjah dengan Imron Rosyadi sehingga keduanya melangsungkan pernikahan. Sangat sedikit juga tulisan yang memuat kisah hidup tentang keduanya.


Sekitar 2 tahun lalu, salah seorang keluarga besar Soemadilagamenunjukkan sebuah album foto tentang Hadidjah dan Imron Rosjadi. Setelah dibuka dan dibersihkan karena ada beberapa bagian sampul yang sudah rusak, ditemukan sebuah foto pernikahan keduanya. Di balik foto itu ada tulisan 30 Agustus, tapi terkait tahunnya kurang jelas. Setelah beberapa kali tulisan itu di zoom lewat foto, tetap saja masih kurang jelas, antara 1951 atau 1953.


Jika dikaitkan dengan rangkaian perjalanan pendidikan dan karier Kiai Imron Rosjadi, di beberapa catatan, peristiwa pernikahan itu sepertinya sekembalinya dia dari Irak dan Arab Saudi rentang waktu 1947 sampai 1952 saat menjadi diplomat. 


Jadi kemungkinan besar pernikahan itu pada 1953, tahun awal dia mulai aktif di Nahdlatul Ulama melalui GP Ansor. Setahun kemudian ia menjadi ketua umumnya.


Pimpinan Muslimat NU
Sebagai istri seorang tokoh, Hadidjah sering mendampinginya pada berbagai acara, baik di lingkungan NU maupun kenegaraan, di dalam dan di luar negeri. 


Meski demikian, ia juga memiliki aktivitas mandiri, tidak sekadar mendampingi suaminya. Pada beberapa sampul undangan dan potongan koran koleksi keluarga Soemadilaga, Hadidjah dan aktif di Fedaration Asian Women Asociation (FAWA).


Pada Undangan Konferensi FAWA di tahun 1970, Tokyo, terlihat Hadidjah berfoto bersama dengan utusan FAWA dari negara Asia lainnya di depan sebuah masjid dan taman. Saat itu ia mewakili Indonesia dan Muslimat NU di konferensi yang berlangsung 1-3 Juli 1970. 


Dokumentasi keluarga yang lain adalah potongan koran tahun 1970-an. Koran itu memberitakan Hj. Hadidjah yang menjenguk salah tokoh NU dan mantan Menteri Agama zaman Soekarno, KH Moch Ilyas sewaktu dirawat di ruangan Cendrawasih RS Cipto Mangunkusumo. Saat itu, KH Moch Ilyas adalah wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Periode 1968 - 1973. 


Pada keterangan foto di koran itu disebutkan, Ny. Hadidjah menjenguk dengan beberapa wartawan Antara sekembalinya dari Tokyo dengan judul "NJ Chadidjah Pimpinan Muslimat N.U isteri ketua komisi luar negeri/Hankam DPRGR." (Dari potongan koran tidak diketahui nama surat kabar dan waktu penerbitan).


Pada saat menengok itu, Hadidjah menyampaikan kepada KH Moch ilyas bahwa dirinya baru pulang dari Konferensi FAWA. Ia sempat dan menyampaikan pesan salam dari umat Islam yang ada di Jepang yang saat itu meningkat berjumlah 10 ribu orang. 


Pada beberapa berita koran, disebutkan bahwa Nj. Hadidjah sebagai seorang pengurus Pimpinan Muslimat NU. Namun, tidak disebutkan secara khusus jabatannya. Jika dilihat titimangsa keaktifannya, ia aktif pada masa Ketua Umum Hj. Mahmudah Mawardi dan Hj. Asmah Sjahroeni. 


Sebelumnya, saat suaminya, KH Imron Rosjadi menjadi Ketum GP Ansor, sepertinya Hadidjah aktif juga di Fatayat. Pasalnya ditemukan juga foto-foto di acara Fatayat. Namun, perlu penelitian lebih lanjut terkait soal itu karena kehadiran pada sebuah acara belum tentu sebagai pengurus. 


Kewafatan 
Ny. Hj. Hadidjah mendampingi KH Imron Rosjadi sampai wafatnya pada 1993. Saat wafat, ia merupakan salah seorang Mustasyar PBNU saat Ketua Umum KH Abdurrahman Wahid dan Rais Aam KH Ilyas Ruhiat. Sementara Ny. Hj. Hadidjah wafat pada Maret 2014. Keduanya dikebumikan di Pemakaman Soemadilaga Cikuya, Cicalengka, Kabupaten Bandung.