Tokoh

KH Ahmad Nashoha, Rais Syuriyah Pertama PCNU Kebumen

Senin, 29 Maret 2021 | 06:30 WIB

KH Ahmad Nashoha, Rais Syuriyah Pertama PCNU Kebumen

KH Ahmad Nashoha

KH Ahmad Nashoha (1894-1966) kecil memiliki nama Ahmad Nasikhah, namun di kemudian hari beliau lebih dikenal dengan KH Ahmad Nashoha, oleh masyarakat Kebumen, Jawa Tengah akrab dengan panggilan Mbah Nashoha.


Ahmad Nashihah lahir sekitar tahun 1894 M di Dukuh Wonoyoso, Bumirejo, Kebumen, sebuah desa di pusat kota Kebumen. Beliau adalah putra dari KH Muhammad Isma’il. Kiai Isma’il sendiri merupakan putra dari Kiai Muhammad Iman, pengasuh dari Masjid Saka Tunggal sebuah masjid yang berada di desa Pekuncen, Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen.


Ayah beliau, KH Muhammad Isma’il hijrah dari Desa Pekuncen  ke Bumirejo karena mendapatkan dawuh dari salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro yang bernama Mbah Dipaleksana. Beliau  diberi mandat untuk njejeri sebuah masjid di Dukuh Wonoyoso Desa Bumirejo, Kebumen.


Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, masjid tersebut adalah masjid tiban, yang tidak diketahui asal usul dan siapa pendirinya. Masjid tersebut sampai sekarang ada, berada di Komplek Pondok Pesantren Salafiyah Wonoyoso dan diberi nama Masjid Jami’ Salafiyah.


Cerita yang lain menyebutkan bahwa Masjid Salafiyah dibuat oleh Syech ‘Arfiyah pada masa penjajahan Belanda. Syech ‘Arfiyah bin Syech Mursyid adalah seorang ulama yang pernah menjabat sebagai Bupati Panjer, nama kadipaten sebelum terbentuknya Kabupaten Kebumen.


Masjid Salafiyah sempat mengalami fatroh dari kepengasuhan dan bimbingan seorang kiai. Karena, KH. Muhammad Isma’il, ayah dari KH Ahmad Nasikhah ini wafat di Mekkah ketika beliau sedang menunaikan ibadah haji. Sedangkan Ahmad Nasikhah muda saat itu masih menuntut ilmu  di pondok pesantren.


Dalam kekosongan itu, posisi pengasuh masjid salafiyah dipegang oleh KH Ali Murtadlo. Pengasuh Masjid Salafiyyah diteruskan kembali oleh KH Akhmad Nashihah sepulang dari menimba ilmu di tanah suci Mekkah, sedangkan KH Murtadlo membuat mushola sendiri di komplek Pesantren Al-Hidayah.


Perjalanan Menuntut Ilmu


Ahmad Nasikhah muda merupakan seorang santri yang sangat tekun dan memiliki himmah yang kuat dalam menuntut ilmu. Pertama kali beliau  belajar agama kepada ayahandanya, KH Muhammad Isma’il. Kemudian  melanjutkan menimba ilmu agama (tholabul ilmi) dan berkhidmah dari pesantren satu ke pesantren yang lain.


Beberapa pesantren di tanah Jawa pernah disinggahinya adalah Pondok Pesantren Demesan Magelang dan Pondok Pesantren Mangkang Semarang. Beliau juga pernah berguru kepada KH Muhammad Nuh yang dikenal seorang ulama ahli hikmah di Pondok Pesantren Darul Hikmah Desa Pageraji, Cilongok, Banyumas.


Selain itu, Ahmad Nasikhah pernah nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng dan mengambil sanad keilmuan Islam langsung kepada beliau Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU).


Sekembalinya dari Tebuireng beliau melanjutkan cita-citanya untuk memperdalam ilmu (tabahhur fil ‘ilmi) ke tanah suci. Ahmad Nasikhah belajar di tanah suci Mekkah dan bermukim di sana selama kurang lebih 4 tahun. Dengan kesungguhannya dalam menimba ilmu, tidak mengherankan apabila di kemudian hari, Ahmad Nasikhah menjadi sosok ulama yang mumpuni, ‘alim dan disegani. 


Mendirikan Pesantren


Sekembalinya dari tanah suci, KH Ahmad Nashoha merintis sebuah pesantren pada sekitar tahun 1922. Model pengajaran yang digunakan masih menggunakan metode salaf, yaitu sistim sorogan dan bandungan. Bahkan hingga sekarang pesantren ini dikenal dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah.


Metode madrasah baru dikembangkan pada sekitar tahun 1951 digagas oleh menantu beliau yang bernama KH Fathurrohman, dan metode masih bertahan sampai sekarang.


Disela-sela kesibukan mengelola pesantren, KH Ahmad Nashoha sering tirakat sebagai pendekatan beliau kepada Allah. Bahkan sekali waktu beliau melakukan ‘uzlah, menyendiri di sebuah tempat untuk beberapa waktu  untuk mengasah ketajaman batin. Tempat yang pernah didatangi adalah hutan Kumbangkangkung di daerah Gunung Grenggeng, yang merupakan petilasan Syekh Baribin. 


Menurut cerita dari Nyai Fatmah, putri beliau yang merupakan ibunda dari Gus Taha, ketika melakukan ‘uzlah di Gunung Grenggeng ini, karomah Mbah Nasokha sering muncul. Konon, setiap mau mengambil air wudlu beliau hanya menancapkan telunjuk jarinya ke tanah. Biqudrotillah, air yang segar memancar dari dalam tanah untuk beliau berwudlu.


KH Akhmad Nashoha memiliki beberapa putra, tiga diantaranya perempuan adalah Fatmah, ‘Aisyah dan Khodijah. Dari pernikahan putri pertamanya, Ibu Nyai Fatmah dengan KH Fathurrohman inilah kemudian lahir cucu beliau yang bernama KH Muntaha Mahfudz atau Gus Taha. Gus Taha inilah yang sampai saat ini melanjutkan perjuangan KH. Akhmad Nashoha memimpin Pondok Pesantren Salafiyah.


Perjuangan


Perjalanan perkembangan Islam di Indonesia, khususnya di Kebumen tidak bisa dilepaskan dari torehan tinta dan tetesan darah para kiai dan ulama.


KH Ahmad Nashoha, adalah salah satu sosok ulama yang ikut terjun dalam perjuangan melawan penjajah dan berkontribusi dalam perkembangan Islam di Kebumen.


Hidup di masa penjajahan, menuntut KH Akhmad Nashoha ikut berjuang melawan penjajahan. Menurut kesaksian KH Muhdi Ali, keponakan beliau, KH Akhmad Nashoha pernah berangkat perang ke Ambarawa. Beliau mendapat amanah tugas untuk membebaskan para kiai yang ditahan oleh penjajah kolonial Belanda.


Menurut cerita Kiai Ali Muhdi, KH Ahmad Nashoha memiliki sebuah jimat berupa tongkat kecil seperti mata tombak. Konon, senjata ini diyakini sebagai pemberian dari Sunan Kalijaga. Sebagai keponakan yang cukup dekat dekat dengan KH Ahmad Nashoha, Ali Muhdi saat masih kecil tidak hanya pernah melihat bahkan sering memegang senjata tersebut. Dengan berbekal jimat inilah, KH Ahmad Nashoha menundukkan para penjaga tahanan dan membebaskan para kiai yang ditahan penjajah Belanda.


Perjuangan di NU 


Nahdlatul Ulama Cabang Kabupaten Kebumen dirintis pada sekitar tahun 1936. Perjalanan dan perkembangan NU di Kebumen, merupakan salah satu buah perjuangan dari KH Ahmad Nashoha.


KH Ahmad Nashoha yang merintis berdirinya PCNU Kebumen pada sekitar tahun 1936. Sebagai salah seorang santri dari Hadrotusy Syeikh KH Hasyim Asy’ari, beliau mendapat dawuh langsung membuat cabang kepengurusan NU di Kebumen.


Bukti sejarah berdirinya NU Cabang Kebumen bisa dilihat dari piagam pendirian yang ditandatangani oleh KH Mahfudz Sidiq dan Haji Aziz Dijar, selaku Ketua dan Sekretaris Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada saat itu.


Pengurus Cabang NU Kebumen pada periode pertama (1936-1942) dijabat oleh KH Akhmad Nasoha sebagai Rais Syuriyah yang pertama kali. Didampingi para kiai yang lain, diantaranya KH Abdullah Affandi (sebagai Ketua I), KH Abu Jar’i (sebagai Ketua II) dan H Ashari (sebagai Sekretaris). Sekretariat PCNU Kebumen sendiri pada awal-awal pendirian ditempatkan di Pondok Pesantren Salafiyah Wonoyoso.


Menurut cerita Kiai Ali Muhdi, pernah dalam sebuah acara NU, Simbah KH Hasyim Asy'ari sendiri menyempatkan untuk hadir di Kebumen. Sang Pendiri NU ini hadir bersama putra beliau KH Wahid Hasyim dan cucu kesayangannya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang saat itu masih kecil.


Kehadiran tiga tokoh utama dari keluarga pendiri NU di Kebumen ini seakan-akan menjadi sebuah isyarah akan berkembang dan tumbuh suburnya NU di Kebumen. Tidak mengherankan apabila Kebumen saat ini menjadi salah satu basis kuat NU di Jawa Tengah. Dalam sebuah pidato Gus Dur pernah menyebutkan bahwa Kebumen adalah merupakan basis NU, atau menurut beliau Kebumen adalah daerah jalur hijau di Jawa Tengah bagian selatan.


KH Ahmad Nashoha wafat pada tahun 1966 dalam usia 70 tahun. Pesantren Salafiyah diteruskan oleh menantu beliau KH Fathurrohman, namun berselang dua tahun kemudian sang menantu wafat menyusul mertuanya. Saat ini Pesantren Salafiyah diasuh oleh cucu beliau KH Muntaha Mahfudz atau dikenal Gus Taha.


Meneruskan perjuangan kakeknya KH Ahmad Nashoha, Gus Taha pun ikut aktif menghidupkan dan membesarkan NU di Kebumen. Dalam kepengurusan Periode 2018-2023, beliau tercatat dalam jajaran A’wan Syuriyah PCNU Kebumen.


Amir Syarifuddin, Katib Majelis Ilmi PC JQHNU Kebumen, Alumns Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen