Tokoh

KH Masruri Abdul Mughni Figur Murabbi Sejati

Sabtu, 11 Januari 2014 | 06:02 WIB

Nama lengkapnya adalah KH Muhammad Masruri Abdul Mughni. Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah Benda Sirampog, yang lebih dikenal Al Hikmah Bumiayu.  Masyarakat memanggilnya Abah Yai Masruri Mughni. Lahir di Desa Benda pada 23 Juli 1943, putra pertama dari dua bersaudara buah hati pasangan H Abdul Mughni dan Hj Maryam, Abah adalah cucu KH Kholil bin Mahalli, salah satu muassis (pendiri) Pesantren Al Hikmah.<>

Abah hidup di lingkungan pesantren yang didirikan oleh sang kakek. Sehingga sejak kecil ia mulai belajar agama langsung di bawah asuhan kakek yang dibantu KH. Suhaemi bin Abdul Mughni (keponakan KH. Kholil) di pesantren tersebut hingga usia 13 tahun. Ketika menginjak usia 14 tahun, tepatnya pada tahun 1957 ia mulai mondok di Pesantren Tasik Agung Rembang, di bawah asuhan KH Sayuti dan KH Bisri Mushtofa. Ia belajar di pesantren tersebut hanya sekitar dua tahun, yakni sampai tahun 1959.

Setelah itu ia hijrah ke Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, Jawa Timur, yang saat itu salah satu pengasuhnya adalah KH. Wahab Hasbullah tokoh penggerak Nahdlatul Ulama pada saat itu. Selain nyantri, ia juga aktif tabarukan atau mengaji di beberapa pesantren di Indonesia, seperti belajar pada Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari di Tebuireng Jombang.

Sejak muda, Abah dikenal telah memiliki jiwa kepemimpinan dan selalu dituakan oleh orang- orang di sekitarnya. Di pesantren Tambak Beras dalam usia yang relatif muda, ia telah didaulat oleh para masyakikh untuk menjadi qori’ (pembaca kitab kuning untuk santri).

Menurut KH Mukhlas Hasyim, seorang guru penulis, pada saat itu Abah sebetulnya masih punya cita-cita ingin sekali melanjutkan nyantri di Pesantren di daerah Pacitan Jawa Timur dan Pesantren di daerah Magelang Jawa Timur. Hanya saja ketika itu, ia diminta kakeknya untuk segera pulang membantu mengajar di Pesantren Al Hikmah, karena pada saat itu sangat membutuhkan tenaga pengajar. Akhirnya keinginan tersebut tidak terlaksana, karena pada tahun tersebut juga, yakni tahun 1965 dalam usia 22 tahun ia dinikahkan dengan Adzkyah binti KH Kholil yang waktu itu masih berusia 18 tahun. Dan sejak saat itulah rutinitasnya adalah mengajar.

Figur Murobbi Sejati

Sejak pulang dari nyantri di Tambak Beras Jombang, setiap hari Abah harus berjalan kaki cukup jauh untuk mengajar, karena pada saat itu letak asrama dan kelas untuk mengaji sekitar 2 km. Kadang dalam satu hari ia harus pulang pergi beberapa kali untuk mengajar. Sampai pada akhirnya ada wali santri yang datang khusus ke ndalem menitipkan putri-putri mereka untuk belajar atau nyantri di ndalem, karena saat itu ia belum memiliki kamar atau asrama untuk santri. Atas saran dari guru di Tambak Beras Jombang akhirnya ia mendirikan Asrama Pesantren Putri yang sekarang dikenal dengan Pesantren Al Hikmah 2.

Dengan adanya santri yang tinggal di rumahnya, aktifitas mengajar Abah bertambah. Di samping di asrama lama yakni di komplek Masjid Jami’ desa Benda – yang sekarang Al Hikmah 1 – serta di ndalem. Namun setelah mulai agak sepuh dan sibuk dengan amanah umat yang diberikan kepada Abah seperti di Nahdlatul Ulama (NU), Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi lainnya, pengajian dilaksanakan di ndalem dan masjid An Nur Komplek Putri.

Dengan segudang kesibukan, Abah selalu istiqomah mengaji, walaupun dalam waktu yang cukup singkat. Ketika tidak ada kesibukan keluar, dari pagi sampai malam aktifitasnya diisi dengan kegiatan mengajar berbagai fan ilmu seperti tafsir, hadist, tasawuf, faraidl, mawaris, dan fan ilmu lainnya. Aktifitas tiap harinya ditutup dengan mengajar kitab tasawuf Ihya Ulumudin untuk santri senior sampai tengah malam. Dalam setiap pengajian, tak pernah terbersit sedikit pun kesan capek dan lelah dari seorang Abah. Meski baru sepulang dari bepergian sekalipun, Abah selalu terlihat bersemangat dalam membacakan kitab yang diajarkannya.

Dalam kesehariannya, Abah adalah seorang murabbi (pendidik) yang alim, murah senyum, pembawaanya luwes, memiliki tanggung jawab tinggi, dekat dengan semua orang dan penuh dengan keteladanan. Bagi Abah Yai, transformasi ilmu tak hanya sebatas teoritikal belaka, tapi setiap ilmu mesti diajarkan lewat keteladanan nyata. Para santri tiap hari menjadi saksi, bagaimana keteladanan sosok Abah dalam setiap sendi kehidupan. Abah selalu berupaya memberikan teladan pertama dalam setiap hal, besar ataupun kecil.

Abah adalah seorang yang tak pernah lelah berjuang untuk umat. Setiap detik waktu, ia gunakan untuk berjuang di jalan Allah. Di tengah padatnya jadwal, sebagai Rais Syuriah NU Jawa Tengah, pengurus Majelis Ulama Indonesia, Ketua MUI Brebes, dan ketua dewan pengawas Masjid Agung Jawa Tengah ( MAJT), Abah selalu mengedepankan keistiqomahan dalam mendidik para santrinya.

Abah seakan ingin memberikan teladan langsung bagi para santrinya tentang arti dan makna hidup yang sebenarrnya. Seperti yang sering disampaikan di depan ribuan para santrinya ”Innal Hayata ’Aqidatun Wajihadun”. Makna hidup adalah aqidah dan perjuangan. Aqidah Islam yang benar dan mesti diperjuangkan sepanjang hayat dengan mengisi kehidupan untuk mencari ridha Allah Subhanu Wata’ala semata.

Dalam tataran sosial kemasyarakatan, Abah adalah seorang yang memiliki pembawaan luwes, hangat, dan mampu dekat dengan semua orang. Setiap tamu yang datang di ndalem, jika Abah tidak sedang bepergian pasti ditemui. Abah menyambut para tamu dengan ramah dan penuh kehangatan pukul berapapun juga. Abah selalu berusaha bungahake (membuat senang) tamunya. Abah pun tak segan untuk mengajak setiap tamuanya bersantap bersama di meja makan, jika si tamu kebetulan datang di waktu Abah daharan (makan).

Dalam rangka mengawal keberadaan para alumni, setiap alumni yang sowan ke ndalem, termasuk penulis sering ditanya. Pertanyaan yang pertama disampaikan oleh Abah pasti “Dimana kamu sekarang? Mengajar dimana?” Bagi sebagian orang, pertanyaan ini mungkin sepele. Tapi, ibarat saripati, pertanyaan itu merupakan saripati kehidupan seorang Abah Kiai. Pertanyaan itu menunjukkan betapa ia tak menomorsatukan kesuksesan materi santrinya, ia justru mendorong santrinya untuk pertama-tama melakukan perubahan sosial dengan melakukan sesuatu yang paling mungkin dan paling dekat, yakni mengajar.

Sikap seperti inilah yang sejatinya dimiliki oleh para Kiai, ustadz, guru, dan para pengajar atau pendidik lainnya. Sehingga kalau penulis bisa istilahkan sosok Abah Yai Masruri adalah seorang figur murobbi atau pendidik sejati, yakni figur yang betul-betul mengabdikan hidup dan segala sesuatunya untuk ilmu, santri, dan umat. Sebagai salah satu contoh lagi karena keinginannya yang tinggi untuk terus mengembangkan pesantren, ia tidak pernah mengambil segala bentuk honor yang didapat. Semua dikumpulkan untuk dipergunakan pembangunan Pondok Pesantren. Subhanallah.

Sang Murabbi Sejati dipanggil ke haribaan Allah Swt, Ahad pagi 20 Nopember 2011 di Arab Saudi dalam usia 68 tahun. Setelah dishalati di Masjid Nabawi selepas shalat shubuh, atas permintaan Abah sendiri jenazah disemayamkan di komplek pemakaman Baqi’ di dekat masjid Nabawi bersama istri, para sahabat Rasulullah dan para masyayikh.

 

Ismail Ridlwan

Mahasiswa Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang dan muqim di Pesantren Darul Falah Be-Songo Semarang


Terkait