Riwayat Kesehatan Imam Asy-Syafi’i yang Wafat di Bulan Rajab
Kamis, 26 Januari 2023 | 16:00 WIB
Yasinan saat ada orang yang meninggal dunia bukan hanya aktivitas kaum muslimin di Nusantara. Bagi pengikut Mazhab Syafi’i, pembacaan surat Yasin saat peristiwa kematian seseorang banyak diamalkan oleh kaum muslimin. Biasanya orang yang membacakan surat Yasin melakukan amalan ini ketika mendampingi orang yang akan meninggal atau untuk orang yang telah meninggal dunia.
Terlepas dari perbedaan para ulama tentang waktu pembacaan surat Yasin untuk orang yang akan meninggal maupun yang telah meninggal, ada kisah nyata tentang hal ini. Ketika Imam Asy-Syafi’i wafat, ternyata ada sahabat sekaligus muridnya yang membacakan Surat Yasin untuk beliau. Kisah ini termuat dalam kitab karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani yang berjudul Fi Manaqib al-Imam Asy-Syafi’i Tawali at-Ta’sis lima’ali Muhammad bin Idris.
وأخرج الآبريّ من طريق ابن عبد الحكم قال: سئل عن القراءة عن الميت فقال: كان أصحابنا مجتمعين عندرأس الشافعيّ [ رحمه الله ] ورجل يقرأ سورة يس فلم يُنْكِر ذلك عليه أحدٌ منهم , وحضروا غسله فما زالوا وقوفاً على أرجلهم إلى أنْ كُفِّنَ
Baca Juga
Ketika Imam Syafi'i Tidak Qunut
Artinya, "Ditakhrijkan oleh al-Abiri lewat Ibn Abdul Hakam berkata: Dia pernah ditanya tentang bacaan di sisi mayit, maka Beliau menjawab: Sahabat-sahabat kami pernah berkumpul di sisi kepala Asy-Syafi’i sedang seorang laki-laki membaca surat Yasin. Namun, tidak seorang pun mengingkari hal itu, dan dia disiapkan dan dimandikan lalu mereka masih terus berdiri hingga dikafankan." (Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fi Manaqib al-Imam Asy-Syafi’i Tawali at-Ta’sis lima’ali Muhammad bin Idris, Darul Kutub Ilmiah, Lebanon, 1986, Beirut: halaman 178).
Kisah tersebut membuktikan bahwa bacaan Al-Qur’an di sisi mayit yang diterapkan oleh sahabat sekaligus murid Imam Asy-Syafi’i adalah Surat Yasin. Meskipun hanya satu orang yang membacakannya di saat kewafatan Imam Asy-Syafi’i, tidak ada keberatan dari sahabat maupun murid beliau lainnya yang ikut menyaksikan pembacaan Surat Yasin tersebut.
Imam Asy-Syafi’i meninggal dunia pada usia 54 tahun karena sakit yang telah lama dialaminya. Berdasarkan riwayat yang masyhur, Beliau mengalami penyakit bawasir yang parah sehingga menimbulkan perdarahan hebat. Meskipun demikian, Beliau tetap mengajarkan ilmu dan menulis kitab dalam kondisi sakit yang parah itu.
Dalam kurun waktu 4 tahun tinggal di Mesir, Beliau telah mendiktekan tulisan sebanyak 1500 lembar. Kitab Al-Umm ditulisnya sebanyak 2000 lembar, Kitab As-Sunan, dan lain-lainnya juga telah dihasilkannya dalam jangka waktu 4 tahun tersebut. Saat itu Beliau sedang sakit keras dan terkadang keluar darah saat Beliau sedang di atas tunggangan hingga darah itu memenuhi celana dan sepatunya, yakni dikarenakan bawasir.
“Asy-Syafi’i memang sudah menderita penyakit bawasir ini yang cukup parah hingga rusak badannya, lalu saya dengar Beliau berkata: Sesungguhnya saya telah melakukan kesalahan sedang saya mengetahuinya, yakni karena meninggalkan penjagaan (preventif).” (Al-Asqalani, 1986: 177).
Apabila sedang duduk dalam rangka mengajar, darah yang mengalir dari kondisi sakitnya Imam Asy-Syafi’i dikumpulkan dan ditampung dalam suatu wadah khusus. Demikian sabarnya Imam Asy-Syafi’i sehingga tidak pernah mengeluhkan kondisi bawasirnya yang kian parah.
Sebagai seorang ulama yang juga ahli dalam bidang kedokteran, Imam Asy-Syafi’i sebenarnya sangat memperhatikan pentingnya ilmu untuk menjaga kesehatan. Pengetahuan Beliau tentang ilmu menjaga badan inilah yang kelak berkembang menjadi ilmu kedokteran. Beliau juga mengetahui tentang cara menjaga makan agar tetap sehat. Buah-buahan yang bermanfaat untuk kesehatan juga sering disampaikan oleh Beliau ketika menjelaskan obat untuk berbagai penyakit.
Kesibukan Imam Asy-Syafi’i untuk mengajar dan menulis kitab tidak membuat Beliau lupa mewasiatkan pentingnya kesehatan. Nasihat-nasihat Beliau tentang kesehatan banyak ditulis dalam Kitab Manaqib Asy-Syafi’i yang ditulis oleh Imam Baihaqi. Beliau juga menerapkan pola hidup sehat seperti mengawalkan waktu makan agar bisa menjaga fisik sekaligus menjaga hati dari keinginan terhadap makanan milik orang lain.
Upaya pengobatan penyakit yang berat dan sulit diatasi oleh dokter bahkan disebutkan oleh Imam Asy-Syafi’i. Uniknya, resep pamungkas untuk penyakit-penyakit berat itu disarankan oleh Beliau dengan berbagai bahan alami. Imam As-Suyuthi dalam Kitab al-Manhaj as-Sawi wa al-Manhal ar-Rawi fi ath-Thibb an-Nabawi menyampaikan sebuah riwayat sebagai berikut:
“Ibnu Asakir meriwayatkan dari jalur ar-Rabi’bin Sulaiman, dia berkata bahwa dia mendengar Asy-Syafi’i berkata, “Ada tiga yang merupakan obat untuk penyakit yang tidak ada obatnya dan yang menyusahkan para dokter untuk mengobatinya, yaitu anggur, susu unta, dan tebu. Jika bukan karena tebu, aku tidak akan tinggal di Mesir.”
Mesir merupakan daerah yang subur dan banyak tanaman berkhasiat obat yang dapat tumbuh di sana. Tanaman seperti anggur dan tebu dapat tumbuh dengan baik di tanah Mesir. Bahkan dari riwayat di atas, Imam Asy-Syafi’i sangat menyukai tebu. Di Mesir itulah Imam Asy-Syafi’i tutup usia pada Akhir Bulan Rajab, tepatnya pada Hari Jum’at.
“Ibn Adiy berkata, saya pernah mendengar Ali ibnu Muhammad bin Sulaiman berkata: Saya pernah bertanya kepada ar-Rabi’ tentang meninggalnya asy-Syafi’i, maka dia berkata kepadaku: Beliau meninggal pada tahun 204 pada hari terakhir Bulan Rajab yaitu hari Jum’at.” (Al-Asqalani, 1986 M: 179).
Sebagai umat Islam yang mengikuti mazhab Imam Asy-Syafi’i, selayaknya kita mengambil berbagai teladan dari Beliau. Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan kemanfaatan ilmunya yang luas di berbagai bidang hendaknya menginspirasi generasi muslim saat ini untuk melestarikan ajarannya. Termasuk upaya untuk melestarikan ajaran Imam Asy-Syafi'i adalah meneladani dan mengikuti jejak para ulama Syafi'iyah yang dari mereka itulah transmisi keilmuan Imam Asy-Syafi'i tersambung untuk kita hingga hari ini.
Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, apoteker, pakar farmasi, dan anggota MUI Cilacap, Jawa Tengah.