Pulau Lombok di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mempunyai luas sekitar 4.725 kilometer persegi menjadi wilayah dakwah Tuan Guru Haji (TGH) Muhammad Shaleh Hambali (1896-1968). Ulama kharismatik dari Desa Bengkel, Kecamatan Labuapi, Kabupaten Lombok Barat, NTB ini merupakan Rais Syuriyah pertama PWNU NTB.
Dakwah untuk menyebarkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang dilakukannya di Pulau Lombok tidaklah mudah mengingat tantangan saat itu kerap membahayakan jiwa dan raganya bahkan mengancam kehidupan masyarakat. Seperti dakwah yang dilakukan ketika pemberontakan PKI juga terjadi di Lombok.
Ulama yang juga dikenal dengan sebutan Tuan Guru Bengkel ini menjadi tempat perlindungan bagi masyarakat. Mereka merasa terancam dengan gerakan PKI yang tidak segan melakukan kekerasan kepada masyarakat saat itu. Kemudian, TGH Shaleh Hambali yang dikenal sebagai ulama istimewa yang banyak memiliki karomah menurut warga sekitar dijadikan tempat mengadu dan meminta nasihat.
Masyarakat berduyun-duyun mendatangi kediaman Tuan Guru Bengkel yang saat itu sudah mendirikan Pondok Pesantren Darul Qur’an. Mereka meminta bimbingan Tuan Guru Bengkel untuk menghadapi ancaman yang dilakukan para oknum PKI yang membahayakan jiwanya.
Selain memberikan sejumlah wirid dan doa, TGH Shaleh Hambali juga memberikan perhatian kepada seluruh masyarakat agar mereka menancapkan bendera Nahdlatul Ulama (NU) di depan rumahnya masing-masing. Tuan Guru Bengkel menjamin keamanan masyarakat dengan bendera NU tersebut.
Cerita tersebut diriwayatkan oleh Cucu TGH Shaleh Hambali, TGH Halisussabri. NU Online berkesempatan menemui Tuan Guru Halisussabri di Pondok Pesantren Darul Qur’an di tengah perhelatan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU pada 23-25 November 2017 di NTB.
“Saat itu masyarakat ramai-ramai mencancapkan bendera NU. Masing-masing mereka melukis sendiri lambang NU dengan cara disemprot,” ujar TGH Halisussabri.
Bagi masyarakat Lombok, Tuan Guru Bengkel selama ini mampu mengayomi masyarakat dengan karomah dan keistimewaannya. Oleh sebab itu, ulama yang lahir pada 7 Ramadhan 1313 ini dijadikan semacam jimat perlindungan dari keaganasan PKI.
Bukan hanya pada ilmu keagamaan, kesaktiannya juga juga diakui ketika para tokoh nasional juga kerap berkunjung kepadanya untuk meminta nasihat saat Indonesia dalam kondisi terjajah. Tokoh-tokoh NU seperti KH Wahab Chasbullah, KH Saifuddin Zuhri, Subhan ZE, dan lain-lain pernah menyambangi kediaman Tuan Guru Bengkel.
Begitu juga Presiden Seokarno. Ia pernah mendatangi Tuan Guru Bengkel pada 1953. Kedatangannya itu juga disambut antusias masyarakat Desa Bengkel. Soekarno dengan gaya khasnya memberikan orasi di tengah-tengah masyarakat Bengkel saat itu. Dokumentasi tersebut terpampang jelas di ruang galeri Pesantren Darul Qur’an.
Saat ini, TGH Shaleh Hambali bisa dikatakan sebagai patok utama ulama yang berjasa menyebarkan NU dan Aswaja di tanah Nusa Tenggara Barat. Ia mempunyai optimisme tinggi ketika jam’iyah NU memiliki visi mendakwahkan Islam dengan sebenar-benarnya dan sebaiknya-baiknya serta memperkuat wawasan kebangsaan dan jiwa nasionalisme di dada bangsa Indonesia.
Saat ini, ulama yang mangkat pada Sabtu, 15 Jumadil Akhir bertepatan dengan tanggal 7 September 1968 itu dimakamkan di depan Masjid Jami’ Shaleh Hambali di Bengkel. Masjid ini terletak sekitar 200 meter dari Pondok Pesantren Darul Qur’an di Jalan TGH Shaleh Hambali. Saat ini pesantren dipimpin oleh sang cucu, TGH Halisussabri itu memiliki santri sekitar 1500 orang yang berasal dari berbagai daerah seperti Bali dan Sumbawa. Juga mengembangkan sejumlah lembaga sosial, seperti panti asuhan anak yatim.
Riwayat Tuan Guru Bengkel
Nama kecilnya adalah Muhammad Shaleh, sedangkan Hambali dibelakang nama tersebut adalah dinisbatkan kepada nama ayahnya yang bernama Hambali. Dia adalah putra bungsu dari delapan bersaudara, yaitu Abu, Fatimah, Amsiah, Rukiyah, Selamin, Syamsiyah, Khadijah, dan Muhammad Shaleh. Beliau adalah putra dari pasangan Hambali dan Halimah (alias Inaq Fatimah).
Dia dilahirkan hampir mirip dengan kelahiran Rasulullah SAW, artinya ketika masih dalam kandungan berumur 6 bulan ayahnya dipanggil menghadap oleh Yang Maha Kuasa (meninggal dunia), dan ketika dia telah lahir dan telah berumur 6 bulan, dia ditinggal oleh ibundanya tercinta menyusul ayahnya (meninggal dunia). Maka ketika itu jadilah dia anak yatim piatu yang tidak mempunyai ayah dan ibu. Kemudian ia diambil dan diasuh oleh pamannya yang bernama H Abdullah (alias Bapak Rajab).
Menurut informasi yang dihimpun NU Online, Muhammad Shaleh dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang religius dan taat menjalankan agama. Orang tua dia adalah warga biasa yang memiliki dedikasi dan loyalitas yang tinggi pada syiar Islam di kampungnya, sekalipun bapaknya bukan seorang kiai (Tuan Guru). Tetapi ia dikenal sebagai orang yang memiliki ghirah keislaman yang tinggi dan dikenal sebagai khadam kiai.
Tuan Guru Haji Muhammad Shaleh Hambali mulai belajar mengaji pada usia 7 tahun. Dia belajar agama secara teratur kepada seorang guru Al-Qur’an yang ahli tajwid bernama Ramli alias Guru Sumbawa di Desa kelahirannya Bengkel. Ini merupakan langkah awal dari pola umum pendidikan Islam tradisional. Anak-anak seusianya kala itu mulai diajarkan membaca ejaan Arab.
Seusai belajar pada Ramli, 5 tahun lamanya, TGH Shaleh Hambali melanjutkan pendidikan ke Mekkah selama lebih kurang 9 tahun, yakni pada tahun 1912 hingga 1921. Ia juga menuntut ilmu agama kepada sejumlah ulama, baik fiqih, tafsir, tasawuf, dan ilmu-ilmu agama yang lain. Keberangkatan dia ke tanah suci Mekkah juga bersama ibu angkatnya (Inaq Rajab-istri H Abdullah) sampai ibu angkatnya meninggal dunia di Mekkah pada bulan haji.
Selama menuntut ilmu di Mekkah, dia banyak belajar kepada sejumlah ulama terkemuka, diantaranya adalah: Syekh Said al-Yamani, Syekh Hasan bin Syekh Said al-Yamani, Syekh Alawi Maliki al-Makki, Syekh Hamdan al-Maghrabi, Syekh Abdusstar Hindi, Syekh Said al-Hadrawi Makki, Syekh Muhammad Arsyad, Syekh Shaleh Bafadhol, Syekh Ali Umairah al-Fayumi al-Mishra.
Selain kepada ulama-ulama di atas, dia juga belajar kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di tanah suci, antara lain, TGH Umar (Sumbawa), TGH Muhammad Irsyad (Sumbawa), TGH Haji Utsman (Serawak), KH Muchtar (Bogor), KH Misbah (Banten), TGH Abdul Ghani (Jemberana-Bali), TGH Abdurrahman (Jemberana-Bali), TGH Utsman (Pontianak), TGH Umar (Kelayu-Lombok), TGH Abdul Hamid (Pagutan-Lombok), TGH Asy’ari (Sekarbela-Lombok), dan TGH Yahya (Jerowaru-Lombok).
Kitab-kitab tasawuf yang banyak dipelajari oleh Tuan Guru Bengkel pada guru-gurunya adalah kitab-kitab yang ditulis oleh Imam Ghazali seperti: Minhajul Abidin, Bidayatul Hidayah, dan Ihya’ Ulumuddin. Lalu, kitab Kifayatul Atqiya’ karangan Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syata al-Dimyathi yang merupakan komentar dari Kifayatul Atqiya’ ila Thariqatul Awliya’ karya Zainuddin al-Malibary. Kemudian kitab Hidayatus Salikin dan Sairus Salikin karya Syekh Abdus Shomad Al-Palimbani dalam bahasa melayu.
Bagi Tuan Guru Bengkel, dakwah jangan hanya berupa ceramah dan kata-kata, tetapi juga karya. Dakwah akan abadi jika menuliskannya dalam bentuk karya. Tercatat, TGH Shaleh Hambali mempunyai 17 karya kitab.
Saat ini, keberadaan 17 kitab dan manuskrip karya Tuan Guru Bangkel ditashih oleh seorang nazir atau pemangku, Baehaqi Syakbani bin TGH Muhammad Zain Masbagik. Adapun 17 kitab karya Tuan Guru Bengkel sebagai berikut:
1. Luqhtatul Jawharati fi Bayanil Ghina Iwalmutaqqirati (selesai ditulis Jumat, 13 Januari 1933).
2. Permaiduri (1969)
3. Ilmu Mantiq (1969)
4. Hidyatul Atfali fi Tajwidi Kalam Ilahil Muta’ali (1934)
5. Ta’limus Shibyani bi Gahyatil Bayani (1935)
6. Washiyyatul Mustafa Li Ali Al-Murtadha (1937)
7. Al-Mawa Izus Shalihiyyati Fil Ahaditsin Nabawiyyati (1945)
8. Manzharul Amradi fi Bayani Qith A’thin Minal I’tiqadi ( editor, 1949)
9. Intan Berlian (Perhiasan) Laki Perempuan (1951)
10. Risalah Kecil Pada Menyatakan Thawaf Perempuan yang Haid atau Nifas (1954)
11. Jamuan Tersaji pada Manasik Haji (1952)
12. Cempaka Mulia Perhiasan Manusia (1956)
13. Bintang Perniagaan pada Kelebihan Perusahaan (1957)
14. Jalan Kemenangan pada Menyatakan Jalan Taubat yang Sebenarnya (1964)
15. Tujuh Belas Wirid (Ratiul Barakah) (1965)
16. Piagama Beserta Ayat Al-Qur’an
17. Dalilul Haul
Sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada keluarga dan segenap santrinya, wasiat itu berbunyi: Pertama, peliharalah persatuan dan kesatuan di antara sesamamu. Kedua, belajarlah pada guru yang beraliran Ahlussunnah wal Jamaah. Ketiga, peliharalah Yayasan Perguruan Darul Qur’an dan usahakanlah agar berkembang.
Pesan tersebut terlukis rapi di dinding pesantren agar menjadi perhatian para muridnya. Ia juga selalu menekankan wawasan kebangsaan kepada para santrinya serta agar terus memegang teguh ajaran para ulama dan pendiri bangsa. (Fathoni Ahmad)