Politik memang tidak ada sekolahannya, karena sekolahannya di lapangan. Kalau pun terpaksa belajar politik di sekolah paling banter hanya akan menjadi ilmuwan politik atau sekadar pengamat politik, tidak dengan sendirinya menjadi politisi. Bagi seorang politisi, politik itu bukan sesuatu yang dipikirkan dan dilihat saja, tetapi sesuatu yang duterjuni, digumuli sebagai panggilan hidup. Dari situ banyak muncul tokoh politik yang matang dan berkeperibdian seperti Nuddin Luibis, dengan pengalaman lapangannya mampu memimpin partai dari tingkat lokal hingga nasional.
Tokoh yang dikenal sangat vokal dan teguh pendirian itu lahir di desa Roburan Mandailing Natal (Madina), 25 November 1919. Namun jangan heran kalau politisi yang sangat kondang pada zamannya itu hanya tamatan Madrasah Aliyah di pesantren Mustofawiyah Purba Baru Tapanuli Selatan. Dengan semangat belajar yang tekun serta talenta kepemimpinannya yang tinggi ia berhasil mendongkrak karirnya sebagai politisi yang matang dan dihargai kawan maupun lawan, karena itu posisi sebagai ketua partai dan wakil ketua DPR/MPR cukup lama dipercayakan kepadanya. Dengan posisinya itu banayak persoalan nasional yang diselesaikan.
<>Bekal pendidikan madrasah Aliyah itu ia mencoba meniti karir di bidang politik. Sejak tahun 1947 hingga tahun 1950 menjadi anggota DPRD dan DPD Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah sukses di daerahnya dua tahun kemudian dia hijrah ke Medan ibu kota Propinsi Sumatera Utara untuk mengembangkan karir sebagai pegawai negeri sipil. Karena memiliki jiwa kepemimpinan maka ia selalu menonjol di lingkungan kerjanya, maka tidak lama kemudian ia dia ditempatkan di Pemda Kota Medan, bahkan beberapa tahun kemudian bakat kepemimpinannya dibuktikan dengan menduduki jabatan sebagai wedana atau pembantu walikota. Seusai menjabat sebagai wedana kemudian dipromosikan lagi sebagai pegawai bagian politik pada Kantor Residen Medan hingga tahun 1954.
Sebagai seorang alumni pesantren salaf dengan sendirinya Nuddin Lubis memiliki afiliasi yang kuat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Mengingat komitmen ke-NU-annya yang kuat itu maka pada tahun 1957 berani melepaskan karirnya sebagai pegawai negeri setelah terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara, hasil Pemilu 1955 mewakili partai NU. Pada saat yang bersamaan dia terpilih sebagai Wakil Ketua DPD dan Wakil Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Posisi ini dipegang hingga tahun 1963. Pilihan mengundurkan diri sebagai pegawai negeri yang penuh risiko itu telah diperhitungkan dengan cermat. Terbukti setelah itu karir politiknya bukan semakin menurun, justru semakin menanjak, bahkan telah menganatarkannya menjadi politisi berkaliber nasional, saat mana ia harus hijrah ke Jakarta untuk menjadi anggota DPRGR/MPRS pada tahun 1963.
Pejuang Tulen
H. Nuddin Lubis yang beristrikan Hj. Dumasari Nasution memang benar-benar seorang pejuang tulen. Sejak remaja dan pemuda waktunya habis untuk berkhidmat kepada bangsa dan Negara melalui organisasi politik maupun sosial. Masih dalam usia 20 tahun, Nuddin sudah menjabat sebagai pimpinan pengurus besar organisasi lokal yaitu Al-Ittihadul Islamiyah (AII) Tapanuli Selatan. Empat tahun kemudian dia menjabat Sekretaris Majelis Islam Tinggi (MIT) Tapanuli. Pergumulannya dengan berbagai organisasi Islam lokal itu merupakan sekolah politik yang sangat berharga bagi Nuddin muda.
Tahun 1945-1947 menjabat sebagai pengurus besar AII Tapanuli. Selama enam tahun (1946-1952) menjadi pimpinan Masyumi Tapanuli Selatan. Bersamaan dengan itu ia menjadi anggota Konsul (Wilayah) Nahdlatul Ulama, hingga menjadi Ketua Wilayah NU Sumatera Utara hingga tahun 1970. Kepiawiannya dalam berpolitik itu, ia semakin menjadi perhatian kalangan Pengurus Besar NU, karena itu sejak tahun 1965 hingga 1970 menjadi Ketua Fraksi Partai NU di DPRGR dan anggota pleno PB Nahdlatul Ulama.
Kiprah Nuddin Lubis dimulai sejak tahun 1941, aktif memimpin Gerakan Perjuangan Islam hingga masa pendudukan Jepang. Tahun 1945 turut aktif pula dalam revolusi kemerdekaan dengan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) dan juga Pengurus Barisan Pemuda Republik Indonesia Tapanuli Selatan. Pada saat bersamaan membentuk Barisan Hizbullah dan Sabilillah Tapanuli Selatan.
Pada tahun 1947-1948 menjadi anggota Badan Pertahanan Kabupaten Tapanuli Selatan. Selama setahun aktif bergerilya di hutan, merangkap sebagai penasihat pemerintah militer Tapanuli Selatan/Sumatera Timur Selatan. Dia juga membentuk Barisan Al-Jihad yang melakukan perlawanan-perlawanan kepada tentara Belanda. Sesudah penyerahan kedaulatan (1950) turut aktif memperjuangkan terwujudnya Negara kesatuan Republik Indonesia.
Selama delapan tahun (hingga 1958) menjadi anggota Penguasa Perang Daerah (Peperda) Sumatera Utara dalam wadah ini Nuddin Lubis yang sangat patriotik itu dengan sendirinya turut aktif menentang pemberontakan PRRI –Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pimpinan Kol Mauludin Simbolon berkecamuk di wilayahnya itu. Bagi Nuddin pemberontakan itu sebuah makar yang harus diperangi, sebab merongrong kesatuan Republik Indonesia.
Apalagi kota Medan pada tahun 1956 dijadikan Tuan rumah Pelaksanaan Muktamar NU ke 20, maka situasi harus benar-benar diamankan, karena itu dia terpaksa harus membujuk para pimpinan pemberontak agar tidak mengganggu jalannya Muktamar NU. Rupanya usaha itu berhasil sehingga Muktamar NU berjalan lancar di tengah suasana perang.
Resolusi Nuddin Lubis
Berpuluh tahun bergumul dalam dunia politik melalui partai NU membuat Nuddin Lubis amat matang dengan asam garam politik Nasional. Lebih 40 tahun menjadi wakil rakyat sejak di DPRD Kabupaten, Provinsi hingga tingkat pusat membuatnya menjadi politisi yang berkarakter kuat. Tidak mudah tergoda oleh manuver politik dari partai lain, namun dia tetap konsisten dengan watak NU yang persuasif dan bijak. Kecuali dalam hal-hal tertentu apabila situasi sudah sangat genting, barulah ia tampil memperlihatkan kepiawaiannya di bidang politik.
Begitulah, ketika terjadi situasi dualisme politik dalam kepemimpinan Nasional antara Bung Karno dan Pak Harto pada tahun 1967, H. Nuddin Lubis tampil dengan usul resolusinya yang terkenal ketika itu. Nuddin Lubis dengan sejumlah teman dari partai lain yang terwakili di DPRGR meminta agar Bung Karno segera diberhentikan dalam jabatan sebagai Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi ABRI dan Mandataris MPRS Pemberhentian Bung Karno tentunya dilakukan dalam sidang MPRS, mengingat MPRSlah yang memberi mandat kepada Bung Karno sebagai Presiden.
Resolusi itu diterima baik dalam sidang paripurna DPRGR yang diketuai oleh H.A.Sjaichu yang juga dari Partai NU. Pimpinan DPRGR kemudian meneruskan resolusi tadi kepada pimpinan MPRS yang diketuai oleh Jenderal Abdul Harris Nasution dengan salah seorang wakil Ketuanya HM Suchan ZE yang juga dari NU. Pada tahun 1967 itu juga diadakan Sidang Istimewa MPRS di Jakarta. Sebelum sidang berlangsung H.Djamaluddin Malik mengeluarkan resolusi agar Letjen TNI Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden atau pengganti Bung Karno.
Pada tahun 1967 itu juga sidang MPRS diadakan di Jakarta. Menjelang sidang situasi dualisme kepemimpinan makin terasa memanas dan tidak kondusif. Namun alhamdulillah segala problema bangsa dapat diselesaikan dengan cantik. Bung Karno diberhentikan sebagai Presiden dengan mencabut mandat yang diberikan oleh MPRS melalui siding umum MPRS juga. Letjen TNI Soeharto kemudian ditetapkan sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia.
Perlu diketahui adanya dualisme kepemimpinan itu terjadi karena Bung Karno merasa masih menjadi Presiden, sedangkan Pak Harto ketika itu masih dalam status pemegang Surat Perintah 11 Maret, atau sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban –Kopkamtib. Kejadian-kejadian yang mewarnai dualisme kepemimpinan ini nyaris berdampak ke tingkat akar rumput, sehingga terjadi benturan-benturan dan konflik politik yang membahayakan persatuan bangsa.
Kiprah dalam PPP
Setelah NU melakukan fusi bersama partai lain ke dalam PPP, maka kader politik yang sudah matang seperti Nuddin Lubis tentu sangat dibutuhkan. Apalagi berdarakan perolehan suara NU pada Pemilu 1971, yang merupakan ranking kedua setelah Golkar, bisa dibayangkan NU saat itu merupakan partai yang sangat besar dibanding partai Islam yang lai. Karena itu layak kalau NU memimpin partai yang lain dalam fusinya ke dalam PPP. Dibawah kepimpinan KH Bisri Sansuri PPP semakin besar dan berwibawa, sehingga kader seperti Nuddin Lubis, Cholik Ali, Yusuf Hasyim dan sebagainya bisa bermanuver secara cantik dalam pentas politik nasional melawan kedholiman Orde Baru.
Sebagai partai Islam dengan tegas PPP menolak RUU Perkawinan yang sekular, sebagai warga NU demngan tegas menolak monopoli penafsiran Pancasila dan menolak UU Politik yang tidak demokratis. Karena itu dengan skuat yang kuat termasuk di dalamnya ada Nuddin Lubis NU melakukan walk out ketika persoalan krusial itu diangkat ke sidang DPR. Sementara unsur yang lain dalam PPP berdiam diri.
Berpuluh tahun menjadi anggota DPR/MPR ini berarti Nuddin Lubis orang paling lama mewakili Partai NU, dan kemudian Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketika empat partai Islam yang berfusi ke dalam PPP, secara otomatis Nuddin menjadi anggota PPP. Ketika PPP dipimpin oleh HMS Mintaredja dan HJ.Naro, Nuddin Lubis menjabat sebagai Wakil Ketua Umum DPP PPP. Tahun 1982, terjadi kemelut di dalam tubuh PPP karena agresifitas unsur lain yang berfusi, membuat sejumlah nama tokoh NU dipelantingkan dari nomor kecil ke nomor sepatu dalam daftar calon pemilu. Namun Nuddin Lubis mampu bertahan, hingga tetap menduduki jabatan Wakil Ketua DPR/MPR.
Ketika kemelut itu berkecamuk kalangan PBNU tetap menggunakan Nuddin Lubis ebagai mediator, terutama setelah walk out itu antara unsur NU dan lainnya retak, sementara PPP harus segera Solid untuk menghadapi Pemilu berikutnya yakni Pemilu 1982, karena itu NU mengutus Nuddin Lubis sebagai ketua Fraksi Persatuan Pembangunan untuk mengadakan ishlah dan rujuk yang diadakan pada 6 Maret 1980 yang diadakan di Hotel Syahid. Islah tersebut ternyata mampu mempererat kembali fusi PPP. Kemampuan berkomunikasi dan keterbukaannya itu membuat ia mudah diterima berbagai kalanagan.
Keluarga besar
Dari pernikahannya dengan Hj.Dumasari Nasution itu, ia dikaruniai 10 orang putera-puteri. Mereka adalah Zulfikar Lubis, Yusnaini Lubis,Zulhana Lubis, Zulkifli Lubis, Zuraida Lubis, Zaini Musa Lubis, Masdulhaq Lubis, Syahrizal Lubis, Yusnina Sari Lubis dan Fadlansyah. Dari 10 putera puterinya itu dikaruniai belasan cucu. Nuddin Lubis wafat Mei tahun 2000 di Jakarta setelah menderita sakit beberapa pekan.
Rangkaian panjang perjuangannya hingga duduk menjadi Wakil Ketua DPR/MPR H.Nuddin Lubis dianugerahi sejumlah bintang jasa oleh Negara. Dia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, namun ia tetap meminta agar dimakamkan di pemakaman umum Tanah Kusir Jakarta Selatan.
H A Baidhowi Adnan
Wartawan senior
Wakil Ketua LTN-PBNU