Warta

13 Pasal SKB Kerukunan Beragama Sudah Disepakati

Kamis, 22 Desember 2005 | 13:18 WIB

Jakarta, NU Online
Seluruh Majelis Agama yakni MUI, PGI, KWI, PHDI dan Walubi telah menyepakati perlu adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri tentang Kerukunan Umat Beragama serta perlunya penyempurnaan SKB tersebut, bahkan 13 pasal SKB yang baru sudah disepakati.

"Kami telah sepakat menyempurnakan SKB tersebut, dan dari 26 pasal rancangan, 13 pasal di antaranya telah selesai dibahas," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depag Atho Mudzhar dalam Seminar "SKB Dua Menteri tentang Penyiaran Agama dan Problematika Kerukunan Umat Beragama" di Jakarta, Kamis.

<>

Ke-5 majelis agama yakni Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Persatuan Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi) itu, dikatakan Atho, telah melakukan pertemuan hingga lima kali dan yang ke-6 dijadwalkan dilakukan pada 5 Januari.

Ke-13 pasal dari SKB yang akan diubah namanya menjadi Peraturan Bersama Menteri itu, ujarnya, terdiri dari tiga kelompok besar, yang pertama, pasal-pasal tentang tugas Gubernur dan Bupati dalam memelihara kerukunan umat beragama.

Kedua, lanjutnya, pasal-pasal tentang Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) seperti siapa saja anggotanya yakni tokoh agama, oleh siapa dibentuk yakni masyarakat yang difasilitasi pemerintah, proporsinya yang sesuai porsi jumlah penduduk, serta tugas-tugasnya.

Sedangkan yang ketiga, tentang prinsip pendirian rumah ibadah yang harus berdasarkan kebutuhan nyata yakni melayani umat beragama, memenuhi ketentuan tentang pendirian bangunan serta dapat memelihara kerukunan umat beragama, ketentraman dan ketertiban di masyarakat.

Ia menolak bahwa pembahasan pasal-pasal yang dihadiri oleh seluruh majelis agama tersebut disebut alot, karena yang benar adalah "intensif", berhubung pada akhirnya pemikiran-pemikiran yang pada awalnya terasa sulit disatukan, akhirnya mampu menemukan solusi.

Dikatakan Atho, sebelumnya SKB Dua Menteri tahun 1969 itu hanya terdiri dari enam pasal dan multi tafsir, tidak jelas siapa Pemerintah Daerah dan pejabat di bawahnya, siapa organisasi keagamaan dan siapa ulama dan rohaniawan setempat.

Selain itu SKB yang lama tersebut juga tidak merinci secara jelas tata cara pendirian rumah ibadah, seperti persyaratan minimal, batas waktu permohonan, penyalahgunaan lokasi tempat tinggal menjadi rumah ibadah, pendirian yang tidak transparan bagi penduduk lokal, tak adanya komunikasi antartokoh agama dan sulitnya mendapat rekomendasi ulama atau rohaniawan setempat.

Meskipun SKB diubah, kata Atho, ia membantah bahwa SKB yang lama tersebut menghalangi kebebasan beragama agama tertentu, karena faktanya selama 27 tahun dari 1977 hingga 2004 saja, jumlah rumah ibadat meningkat secara signifikan.

Rumah ibadat Islam, misalnya, meningkat 64,22 persen, Kristen Protestan 131,38 persen, Kristen Katholik meningkat hingga 152 persen, bahkan Budha naik 300 persen, demikian juga Hindhu, ujarnya.

Sementara itu, perwakilan dari PGI Lodewijk Gultom mengakui bahwa pembangunan rumah ibadah memerlukan kesabaran serta kesantunan dalam masyarakat, namun demikian jangan ada diskriminasi di tingkat pengambilan Keputusan.(ant/mkf)


Terkait