Surabaya, NU Online
Bagi Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, Prof Dr Abdul Munir Mulkhan, nilai-nilai sufi itu tidak harus dicari pada orang-orang khusus yang secara lahiriah dikenal menguasai ilmu dan amalan-amalan agama.
Ia justru bisa menemukan sufi di seorang tukang tambal ban yang menurut pengakuannya justru "menampar" dirinya sebagai seorang profesor yang mengajar di lembaga pendidikan berbasis agama.
<>"Suatu hari saya bertemu dengan tukang tambal ban yang berbagi cerita dan cukup ’memukul’ diri saya. Ia becerita, pada suatu Jumat, ia kedatangan banyak pasien sopir truk yang ingin menambal bannya," katanya pada diskusi di Toko Buku Toga Mas Diponegoro, Surabaya, Jumat.
Pada diskusi dan bedah dua buku karangannya berjudul, "Satu Tuhan Seribu Tafsir" dan "Sufi Pinggiran" itu, Munir mengemukakan bahwa si tukang tambal ban tersebut mengalami perang batin antara melaksanakan salat Jumat lebih awal atau meneruskan pekerjaannya.
"Bukannya dia merasa berdosa karena tidak mau salat Jumat, tapi takut terlambat datang ke masjid. Di satu sisi ia kasihan pada sopir-sopir truk itu karena takut tidak bisa segera melanjutkan pekerjaannya," kata pria kelahiran Jember, Jatim tahun 1946 itu.
Akhirnya di hari lain, si tukang tambal ban itu menutup pekerjaannya setiap hari Jumat. Dari cerita itu, ia menyimpulkan bahwa tukang tambal ban tersebut telah menampilkan sikap-sikap kesufian yang disebutnya sufi pinggiran.
Munir juga menemukan sikap sufi itu pada temannya yang kini menjadi direktur jenderal (Dirjen) di suatu instansi pemerintah. "Teman saya yang tidak bisa membaca Al-Quran dengan tartil dan tajwid yang baik itu menolak melakukan korupsi yang menghasilkan uang miliaran rupiah. Dia tidak tergoda dan dia lebih hebat dari kiai atau ulama," kata penulis buku Syeh Siti Jenar itu. (ant/eko)