Yogyakarta, NU Online
Kerjasama Badan Urusan Logistik (Bulog) dengan para pedagang dalam melakukan Operasi Pasar (OP) dinilai tidak wajar karena barang normal milik pedagang yang ongkos produksi atau harga belinya sudah mahal tidak mungkin disesuaikan dengan kebutuhan OP.
Demikian kata Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta KH. Mohammd Maksum di Yogyakarta, Selasa (30/1), menyusul diadakannya kerjasama bulog dengan para pedagang Pasar Induk Cipinang (PPIC) dalam operasi pasar (OP) baru-baru ini.
<>“Perlu dikaji ulang dan dicermati kemana arahnya. Masuk akal nggak ini? Apa ya bisa kalau barang OP dicampur barang normal yang kulaknya sudah mahal. Ini tata niaga yang rawan karena menyangkut urusan perut. Yang menarik gagasan itu muncul karena bulog dicaci karena tidak mampu kendalikan OP,” katanya.
Harga pembelian pemerintah (HPP) beras yang rendah, menurut pakar pertanian Universitas Gajah mada (UGM) itu, menjadi akar presoalan. Pemerintah mematok harga pada kisaran 3550/KG. Padahal bahan baku yang dibutuhkan sudah seharga 1,66/KG dan untuk gabah kering giling (GKG) sudah seharga Rp 2280/KG sehingga mencapai 3807 pada tingkat HPP.
“Ini benar-benar menyesatkan konsumen. Ketika harga naik sedikit dari kisaran Rp.4000 sudah pada ramai. Lalu Bulog yang sudah ancang-ancang OP dan impor. HPP yang dalam inpres 13/05 itu teramat rendah dan karenannya perlu revisi.,” katanya.
Bulog dinilai memakai standar ganda. Tahun lalu Bulog cuma mampu meraih 60% dari target. Alasannya, beras tidak bisa dibeli karena saat panen raya pun harga lebih tingi dari HPP. Padahal HPP itu sendiri dinilai terlalu rendah dibanding dengan ongkos produksi.
“Kalau stok gagal, OP gagal, dan beras miskin jeblog terus apa guna lembaga gagal ini? Saya usul, lakukan audit kelembagaan untuk BUMN yang selalu gagal kerja seperti ini. Kita perlu segera mereorientasi kebijakan yang tidak memanjakan industri dan membunuh kaum tani,” tegasnya. (nam)