Warta

Cerita Bada dari Sutradara 3 Doa

Rabu, 31 Agustus 2011 | 06:02 WIB

Jakarta, NU Online
Sutradara muda Nurman Hakim punya cerita lebaran, atau dalam bahasa Jawa disebut Bada. “Saya merasakan suasana batin yang mengharu biru,” kata Nurman yang lulusan pesantren Futuhiyah Mranggen, Demak Jawa Tengah.

Nurman yang sukses membesut film 3 Doa 3 Cinta dan Khalifa ini menyampaikan kisahnya lewat surat eletronik malam takbiran tadi. Mari kita simak:

<>
“Ketika masih kanak-kanak, takala takbir berkumandang di langit malam takbiran, saya begitu bahagia menyambut datangnya Idul Fitri. Petasan meletup-letup di langit saling bersahutan. Sekelompok anak-anak berkeliling desa membawa obor dan bedug. Kami bertakbir memeriahkan malam Idul Fitri.

Kebahagian di masa kecil itu hadir karena beberapa kemungkinan: kewajiban untuk berlapar-lapar telah usai. Saat itu saya mulai bisa menikmati makanan lezat di siang hari dan siap-siap mengenakan pakaian baru yang telah dibelikan ayah satu  minggu sebelum Idul Fitri. Bahkan sangking bahagianya, di malam takbiran itu saya tidak bisa tidur menanti datangnya pagi di Idul Fitri.

Dan tatkala pagi Idul Fitri tiba, begitu semangatnya saya berangkat ke masjid dengan pakaian baru plus sajadah baru juga peci baru. Sambil menanti para jamaah lain datang, takmir masjid mengkumandangan takbir lewat pengeras suara. Serempak jamaah mengikuti takbir itu, begitupun saya.

Tiba-tiba, entah dari mana datangnya saat mengulang-ulang takbir itu, saya merasakan suasana batin yang mengharu biru. Saya merasa benar-benar memiliki Tuhan penguasa alam semesta Allah SWT, yang saya yakin akan menjaga saya di dunia dan akhirat. Begitulah yang muncul di alam pikiran saya ketika kecil.

Setelah sembahyang Id, seperti biasanya sebagai anak, saya sungkem ke bapak dan ibu serta sanak saudara yang lebih tua, meminta maaf atas segala kesalahan.

Ketika sungkem itu, suasana batin yang mengharu-biru tadi semakin menjadi-jadi. Dan saya pun menangis sejadi-jadinya dengan perasaan yang tumpah ruah. 

Segera saya ke kamar mandi untuk membasuh wajah saya, sebelum teman-teman mendapati mata saya yang habis menangis. Saya tata wajah ini di cermin kamar mandi dan tiba-tiba lagi suasana batin itu kembali menjadi-jadi, perasaan tenang, lepas dan ringan hinggap di diri saya.

Sejenak, saya lihat pakaian baru saya di cermin dan ada perasaan di diri saya menjadi manusia baru seperti barunya pakaian itu. Peristiwa seperti itu terjadi berulang-ulang di tiap Idul Fitri di masa kecil saya. 

Di Idul Fitri, kita kembali kepada kesucian diri seperti halnya makna fitri dari kata fitrah yang berarti kembali kepada kesucian. Saya lebih senang menggunakan makna itu meskipun sebagian ahli bahasa ada yang mengartikan kata fitri dari lafadz fithru atau ifthar yang berarti berbuka.
Bila dikaitkan dengan puasa, arti Idul Fitri menjadi “hari raya berbuka puasa”, kita kembali berbuka setelah selama sebulan kita berpuasa.

Ketika kembali kepada kesucian maka kita layaknya seorang anak yang baru lahir, menjadi manusia baru yang suci dari dosa. Seperti halnya pakaian baru saya di masa kecil. Sebab pakaian itu dipakai terus menerus tentu akan menjadi kotor, terlebih bila kita ceroboh dan tak mampu menjaganya dari benda-benda yang bisa mengotori; tumpahan oli, minyak, cat dan lain sebagainya maka akan membuat kita sulit untuk mencuci-nya.

Dibutuhkan perhatian yang besar untuk membuat pakaian itu menjadi baru lagi. Di permak, dijahit bila bolong, dihilangkan noda-noda yang melekat dan lain sebagainya. 

Tapi bila tak bisa lagi diperbaiki pakaian itu, maka jalan terakhir adalah membeli pakaian baru, seperti halnya jiwa yang tak bisa di ‘perbaiki’ lagi maka harus diganti dengan ‘jiwa yang baru’."



Penulis: Hamzah Sahal





Terkait