Warta

D. Zawawi Imron, Puisi Tanpa Akhir

Ahad, 16 Oktober 2011 | 02:15 WIB

Sorot lampu fokus pada sosok tua yang berjalan tertatih disangga tongkat. Kakinya diseret, sehingga keluar bunyi. Ia berkain sarung abu-abu bergaris hitam dan putih dipadu baju koko abu-abu. Songkok hitam menutupui rambutnya yang beruban dan rontok.

Ratusan penyaksi gedung teater Salihara, Jumat malam, (13/10) fokus pada sosok itu yang kini memegang secarik kertas.

<>Ia D. Zawawi Imron, didaulat membacakan puisi-puisinya, memungkasi acara “Ironi, Humor dan Sufi”. Sebelumnya, Danarto, F. Rahardi dan Joko Pinurbo juga membacakan karya-karyanya. 

“Saya memakai tongkat karena kaki saya diserang rhematik. Dan sengaja bersarung karena celana saya bernomor 32, longgar semua. Karena itu, puisinya mas Joko Pinurbo menyinggung celana saya. Tapi puisinya yang lain, “Di Bawah Kibaran Sarung”, menceritakan bendera sarung, makanya saya pake sarung,” ungkap Zawawi disambut tawa hadirin.  

Sebagai pembuka, ia membaca puisi berjudul “Hutang”. Tapi ia tak menyelesaikannya karena menurutnya, ada salah ketik. Tak ayal, pengakuan ini mengundang tawa seisi gedung. Beberapa saat riuh-rendah.

Zawawi menenangkan, bahwa ia tak akan membaca puisi jika suasana riuh. Kontan gedung sepi kembali. Hadirin siap menyimak penyair kelahiran Batang-Batang, Madura, 67 tahun lalu.   

Tapi penerima penghargaan dari Majlis Sastera Asia Tenggara (Mastera) tahun lalu ini membuat lelucon kembali.

“Kalau saya baca puisi jelek, itu Zawawi Imron. Tapi kalau saya baca puisi bagus, itu anak ibu saya. Makanya saya akan membacakan puisi “Ibu,” ungkapnya. Matanya bersinar, suaranya lantang, melupakan sakit kakinya.

Ibu...
Kalau aku ikut ujian
Lalu ditanya tentang pahlawan
Namamu, ibu yang akan kusebut paling dahulu

Kemudian ia membaca “Sop” yang dibuatnya dua minggu lalu. Dan ia mengatakan bahwa ini adalah puisi terakhir yang dibacakan malam ini. Tapi ternyata dia membaca puisi “Sungai Kecil” disusul “Perahu Roh” yang dibuatnya selama dua bulan ketika ia bekerja sama dengan seniman Yogyakarta, Jumadil Alfi.

Tubuhku yang sekarang berlayar ini adalah tengkorak yang balum busuk dagingnya
Tubuhku yang sekarang berlayar ini adalah tengkorak yang belum copot dagingnya

Cakaci cakacu, cakaci cakacu cakacakaca cakacakaca kacu
Cacicu cacicu

Aku bisu
Aku dungu
Aku tak tahu
Aku tak ada
Aku tak ada
Aku lenyap
Puisi hilang
Hanya Kau yang Maha Benderang

Ternyata puisi ini bukan yang terakhir. Penulis “Kelenjar Laut” ini berkenan membacakan puisi “Menembus Cakrawala” sebagai puisi terakhir. Dan, bukan yang terakhir juga karena langsung membacakan puisi “Tanah”. Disusul dengan “Sumpah Gelandangan” dan “Zikir.”

Hompipmpah hidupku
Hompimpah matiku
Hompimpahnasibku

Hompimpah hompimpah hompimpah hompimpah hompimpah hompimpah
Hompimpah hompimpah hompimpah hompimpah hompimpah hompimpah

Penyair berjuluk “Clurit Emas” membacakan puisi ini dengan irama orang berzikir di surau. Kepalanya dilempar ke kiri dan kanan, sementara mata memejam. Volume suaranya kadang mengecil, kemudian membesar, mengecil lagi, membesar, timbul-tenggelam seolah transistor yang penalanya digeser, tapi yang dihampirinya gelombang yang sama.

Kugali hatiku dengan linggis alif-Mu

Hingga jadi mata air
Jadi sumur
Jadi sungai
Jadi laut
Jadi samudera

Dengan sejuta gelombang, mengerang, menyebut alif-Mu

Alif...
Alif...
Alif!

Tuhan, alif-Mu yang satu
Tegak dimana-mana

Zawawi merafal alif yang pertama nyaris bocah merengek memohon jajan pada bundanya. Alif kedua, ibarat orang yang mengerang kesakitan meregang nyawa. Sementara alif yang terakhir pendek saja, dengan satu sentakan, seolah mencopot rambut dari adonan tepung.

“Puisi terakhir,” ungkap penulis Bulan Ditusuk Ilalang yang pernah difilmkan Garin Nugroho ini, “Buah durian, buah kedondong, Sekian dong!”

Dia bilang puisi terakhir terus, tapi puisinya tanpa akhir, hatta ia berjalan meninggalkan panggung, bak puisi.

Penulis: Abdullah Alawi


Terkait