Jakarta, NU Online
Dilihat dari tampilan budaya, sepertinya bangsa Indonesia telah kehilangan jati diri karena semakin terasing dari akar budaya asli. Fenomena ini tidak hanya mewabah di kalangan masyarakat perkotaan, tetapi juga telah merambah ke seluruh pelosok pedusunan seiring kemajuan teknologi periklanan dalam setiap tayangan televisi selama hampir 24 jam setiap hari.
Para da’i atau aktivis dakwah tetap harus mengambil warisan salafus shalih dalam berdakwah. Tidak perlu larut, juga tidak terlalu frontal dalam melakukan penolakan, namun punya sikap dan tujuan yang tegas. Demikian KH A Nuril Huda, Ketua Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU).
<>Keterasingan dari akar budaya asli itu bisa dilihat misalnya dalam trend mode and fashion yang kini akrab dan digandrungi oleh anak-anak remaja. Dan tak terelakan lagi, tampilan budaya urban juga sangat mudah dijumpai di pelosok-pelosok perdusunan sekalipun.
”Pada konteks inilah sepertinya kita perlu melakukan otokritik secara mendasar tentang apa yang kita pahami sebagai modernisasi atau kemajuan peradaban. Dalam mana dengan segala konsekuensi dan resikonya akan menjadi tantangan sekaligus hambatan dalam menjalankan misi dakwah Islam sebaga agama yang rahmatan lil ’alamin,” kata Kiai Nuril kepada NU Online, di kantor PBNU Jakarta, Senin (3/12).
Menurutnya, fenomena modernisasi dan globalisasi adalah bagian dari sunatullah. ”Semua kehendak Allah SWT di muka bumi ini. Kalau tidak merupakan nikmat ya batu ujian keteguhan iman bagi hamba-hamba-Nya yang dicintai. Maka barangsiapa yang sanggup menghadapi tantangan dan selamat dari ujian tersebut niscaya ia akan mendapatkan derajat yang mulia disisi-Nya,” katanya.
”Lalu bagaimana seorang da’i harus mengambil sikap? Apakah kita dengan setia mengikuti arus-utama globalisasi atau justru bersikap sebaliknya, terus melawan dengan segala resiko kalah dan terpinggirkan?” kata kiai Nuril, seperti mengajukan pilihan yang serba sulit.
Suatu pelajaran berharga dari Baginda Rasul kepada umatnya, menurutnya, adalah posisi di antara dua titik ekstrim (tafrith). Sebab sabda beliau; Khairul umur ausatuha, sebaik-baik perkara yaitu diambil yang tengah-tengah. Demikianlah para salafus salih mengambil sikap.
”Artinya, kita tidak bisa menolak mentah-mentah apa yang ditawarkan globalisasi asalkan hal itu secara jelas tidak bertentangan dengan nas agama. Begitu pun kita juga tidak mau berkutat terus-menerus dalam kubangan tradisi yang membabibuta sehingga mengakibatkan tertinggal dan terus dijadikan sebagai objek penderita,” kata Kiai Nuril.
”Prinsipnya, kita tidak perlu hanyut dan terbawa arus globalisasi, apalagi sampai kehilangan jati diri karena meninggalkan budaya dan nilai-nilai luhur dan norma-norma agama. Juga tidak perlu besikap sebaliknya, zakelij (kaku dan selalu menolak mentah-mentah) terhadap segala sesuatu yang berbahu kemodernan dan berupaya memegang erat-erat kepada ajaran tradisi lama meski harus dipaksakan,” tambahnya.
Dengan tetap berpegang pada tradisi salafush shalih itu, maka yang sebaiknya dilakukan oleh para dai adalah menerapkan strategi tawasuth atau dengan mencari jalan tengahnya, yaitu dengan cara menyeimbangkan di antara keduanya.
”Metodenya adalah tetap memelihara yang baik dari tradisi lama dan mengambil budaya baru yang lebih baik dari hasil perubahan (produk global); al-muhafadlatu alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah,” kata Kiai Nuril.
Pada konteks ini, satu hal yang wajib diingat, bahwa adaptasi ataupun penyerapan terhadap nilai-nilai baru tersebut dalam dakwah tidak boleh menggeser tujuan utama dakwah yaitu dalam rangka membentuk tipikal karakter muslim sejati atau sosok individu yang ber-akhlakul karimah.
”Hal ini tidak bisa ditawar-tawar lagi karena membagun manusia berakhlak karimah merupakan jawaban yang paling tepat atas indikasi keberhasilan dakwah, ber-amar ma’ruf nahi mungkar,” katanya. (nam)