Warta

Gus Dur Jadi Cahaya di Tengah Kegelapan

Ahad, 18 April 2010 | 05:15 WIB

Brebes, NU Online
"Adalah lebih baik kau nyalakan lilin betapa kecilnya, daripada kau berlarut-larut dalam kegelapan." Ini adalah kata mutiara dari filsuf Kong Fu Tse pada abad ke-5 menyindir pada para sarjana yang bergelar akademik tetapi tidak mampu menjadi intelektual.

“Di tengah paceklik intelektual itu, NU beruntung  memiliki seorang Gus Dur,” ujar Miftahudin pengarang Buku Jejak Langkah Guru Bangsa saat membedah buku yang ia karang bersama Arief Mudatsir Mandan di Aula Kantor Kementerian Agama Kabupaten Brebes, Sabtu (17/4).<>

Menurutnya, Gus Dur bukan hanya penyala lilin tapi obor yang sangat besar yang menjadi panduan umat manusia. Gus Dur telah menunjukan kapasitasnya sebagai tersebut. Sawab atau efek dari pencahayaan menembus dua level NU dan Indonesia.

“Nahdliyin merasa mendapatkan Cahaya Gus Dur ketika kembalinya Khittah 1926 pada tahun 1985. NU saat itu terjebak di jalan bantu karena harus menembus dinding tembok rezim kekuasaan,” tuturnya.

Untuk Indonesia, lanjutnya, Gus Dur mencerahkan kehidupan berdemokrasi. Ditandai dengan gagasan sekaligus penggerak utama lokomotif demokrasi rakyat. Gus Dur hadir justru ditengah dominasi penguasa militer yang memonopoli makna demokrasi menurut tafsir dan kepentingannya sendiri.

Dari cahaya intelektual Gus Dur, Ia angkat derajat kemanusian yang sudah dihancurkan, ia bela mereka yang tertindas. Ia taklukan sang angkara murka. Ia damaikan yang berkonflik. Ia hibur mereka yang gundah. “Gus Dur telah menjadi rahmat bagi alam, telah ia tuntaskan misi kekhalifahan yang beliau embang dengan begitu cemerlang,” tandasnya.

Selain itu, kata Miftahudin, Gus Dur merupakan intelektual sejati dari Dunia Pesantren. Dalam seluruh kehidupannya, telah merepresentasikan cita seorang intelektual pesantren. Dia tak segan mengatakan kebenaran kepada kekuasaan, kendatipun harus menerima olok-olok, ejekan, cemoohan, hujatan bahkan dikafirkan. “Gus Dur menjadi istimewa karena ia intelektual yang rahim dari pesantren,” ungkapnya.

Pesantren yang selama ini dipandang sebagai institusi yang tradisional, kumuh dan jumud justru cemerlang lewat aktualisasi intelektual Gus Dur. Meskipun telah melanglang buana keberbagai penjuru dunia dan terjun keberbagai bidang 'sekuler' tidak pernah melepaskan nilai-nilai dunia pesantren.

“Sepak terjang yang melintas batas kelasifikasi dan kategori apapun, justru dalam kerangka menumbuhkan nilai-nilai keagamaan yang diwarisinya dari dunia pesantren,” pungkasnya.

Sementara Ihya Ulumudin menilai kalau gerakan-gerakan sosial Gus Dur tidak dilakukan oleh orang lain. Atas perannya, kharisma gus dur tinggi. Namun ketika Gus Dur terkontaminasi politik kepartain kharisma Gus Dur pun sedikit menurun. “Politik yang dikedepan Gus Dur adalah politik kebangsaan,” ungkapnya.

Bedah buku Jejak Langkah Gus Dur sebagai Guru Bangsa di gelar oleh PAC Ansor Brebes. Kegiatan berlangsung mulai pukul 09.00 sampai pukul 13.00 itu dibuka Ketua PC GP Ansor Kabupaten Brebes H Mudrik Khaelani Al Hafidz. Dalam kata sambutannya, dia menyambut baik upaya PAC Ansor mengembangkan budaya intelektual.

Namun dia berharap, agar kegiatan bedah membedah tidak sekadar bedah buku saja. Tapi bisa merambah ke bedah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sehingga dengan bedah APBD akan mengurangi perilaku korupsi ditubuh pemerintahan daerah.

“Dengan diketahui Anggaran Daerah, maka akan terlihat juga uang rakyat itu digunakan untuk apa dan sejauhmana kemaslahatannya untuk rakyat?” ujar Mudrik.

Pembedah dilakukan langsung oleh pengarangnya, Miftakhudin Dosen Sosiologi Universitas Indonesia. Sebagai pendampingnya adalah Ihya Ulumudin, dosen UI juga. “Budayawan Brebes, Atmo Tan Sidiq bertindak sebagai pembanding,” tutur Ketua PAC GP Ansor Brebes H Ghofur.

Buku Jejak Langkah Gus Dur sebagai Guru Bangsa, diterbitkan oleh Pustaka Indonesia Satu dengan tahun terbit Maret 2010. Buku ini ditulis Arief Mudatsir Mandan dan Miftahuddin. “Buku setebal 150 halaman dengan ukuran 14 x 21 cm itu sangat menarik sekali untuk cerminan kita,” pungkas Ghofur. (was)


Terkait