Warta

Hasyim: Penyusupan RMS dan Larangan Penerbangan ke Eropa Memalukan RI

Sabtu, 30 Juni 2007 | 08:57 WIB

Malang, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menyatakan, penyusupan sekolompok orang dari Republik Maluku Selatan (RMS) dalam acara Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) di Ambon dan pelarangan penerbangan Indonesia ke Eropa, merupakan pukulan yang sangat memalukan bagi bangsa Indonesia.

“Dua peristiwa besar belakangan ini, yakni larangan penerbangan Indonesia memasuki Eropa, serta dikibarkannya bendera Republik Maluku Selatan (RMS) dimuka Presiden dalam acara resmi, merupakan pukulan yang sangat memalukan untuk bangsa dan Negara,” ungkap KH Hasyim Muzadi di Pondok Pesantren Al-Hikam Malang, Jatim, Sabtu (29/6).

<>

Menurutnya, penyusupan RMS dan pengibaran bendera kelompok separatis dalam acara Presiden SBY menjadi pertanda rentanya kadaulatan dan persatuan bangsa. Sedangkan larangan terbang ke Eropa terhadap penerbangan Indonesia, katanya, merupakan bentuk
pelecehan dunia Internasional terhadap Indonesia.

“Pengibaran bendera RMS bukti rentannya kedaulatan dan persatuan bangsa, sedangkan larangan terbang ke Eropa terhadap penerbangan Indonesia merupakan bentuk pelecehan Internasional bagi RI,” tutur mantan Ketua PWNU Jawa Timur itu.

Namun, lanjut Hasyim, larangan penerbangan Indonesia di langit Eropa memang sangat sulit untuk ditolak menyusul rendahnya standar keselamatan maskapai penerbangan  di Indonesia selama ini.”Pelecehan ini sulit ditolak manakala terbukti dengan uji standar
teknis memang penerbangan Indonesia dibawah standar,” katanya.

Ironisnya, kata Hasyim, larangan penerbangan Indonesia ke Eropa terjadi setelah Indonesia telah berusaha ‘mengambil hati’ dunia internasional (Eropa) dengan dukungan Indonesia terhadap resolusi DK PBB 1747 belum lama ini. Belum lagi, adanya penandatanganan Defence Cooperation Agreement (DCA) yang juga sangat menguntungkan pihak asing. 
 
“Padahal kita sudah “merendah-rendah” ke dunia internasional melalui penanda tanganan resolusi DK PBB 1747, serta penandatanganan DCA dengan Singapura yang sangat merugikan RI,” jelas mantan Cawapres yang berpasangan dengan Megawati pada Pilpres 2004 itu.

Khusus soal DCA, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Malang itu menyatakan,  pihaknya mendukung pihak-pihak yang menolak perjanjian yang merugikan itu karena
jelas-jelas akan merugikan Indonesia.”Extradisi ditukar dengan kedaulatan teritorial RI adalah sesuatu yang sangat salah, oleh karenanya harus ditolak dan saya sangat setuju kepada penolakan Komisi 1 DPR RI,” tegasnya.

Apalagi, lanjut Hasyim, secara  defacto pemerintah Indonesia selama ini tampaknya kurang berminat menangkap para koruptor kakap yang saat ini berlindung di Singapura. Hal itu terbukti dengan datangnya koruptor BLBI yang bias masuk Istana Negara.

“Kalau dilihat de facto, pemerintah tampak kurang berminat menangkap koruptor kakap yang nongkrong di Singapura, terbukti beberapa koruptor tempo hari masuk Istana aman-aman saja, bahkan terhormat,” jelasnya.

Pemerintah Indonesia, kata Hasyim, hingga kini ternyata belum mengenali watak neokolonialisme. Padahal, Indonesia telah merdeka sejak 62 tahun lalu.”Hal ini terbukti lagi lahirnya UU penanaman modal asing yang bisa diartikan penyerahan bulat-bulat ekonomi kita ke asing. Kita harus segera berhenti jadi inlander terutama  pemeritah dan intelektualnya,” pungkasnya.(mkf/amh)


Terkait