Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Hasyim Muzadi menilai sistem perundang-undangan yang ada di Indonesia saat ini malah membuat runyam kondisi bangsa. Terlalu banyaknhya lembaga menyebabkan tidak ada yang paling merasa bertanggungjawab.
“Banyak lembaga ini dan anu, komisi ini dan itu, sehingga tidak jelas. Kalau itu yang terjadi semacam itu, sistem kita malah mengunci, sehingga kalau ada apa-apa tidak jelas siapa yang bertanggung jawab. Nah, negara yang sedang berkembang tidak cocok dengan stelsel semacam itu,” kata Hasyim kepada NU Online di Jakarta, Jum’at (4/8).
<>Dikatakan Hasyim, Indonesia membutuhkan aturan perundang-undangan yang sederhana dan mudah, namun dilengkapi dengan leadership yang jujur. Tanpa kejujuran produk-produk perundang-undangan yang dibuatk hanya lahirkan justifikasi kekuasaan, dimana kekuasaan dibagi sekian banyak.
“Sekarang ini sesuatu sudah diputuskan oleh DPR masih bisa direview oleh Mahkamah Konstitusi (MK), lalu ada Komisi Yudisial (KY) segala. Nah sementara ada Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK), posisi ini kalau dilihat dari struktur koordinatif dengan Polri dengan Jaksa bagaimana? Sekarang ada KPK yang menangkap orang tetapi tidak memutusi orang itu, karena yang memutisi adalah pengadilan,” kata Hasyim.
Padahal dalam struktur pengadilan yang belum bersih tidak akan ada kasus yang disodorkan KPK yang akan sampai ke pengadilan. Sementara itu KPK sendiri sudah terpisah dengan eksekutif. Menurut Hasyim, pemisahan itu membuat kasus korupsi yang tidak bisa dikoordinasikan satu sama lain.
“Nah pertanyaan selanjutnya apakah dengan sistim-sistem yang seperti itu menjamin, pertama, persatuan bangsa, kedua, kwalitas bangsa, dan ketiga produktifitas bangsa? Apakah kita akan mubazir terus dalam keterombang-ambingan seperti ini,” seru Hasyim.
Hasyim melanjutkan adanya kekuasaan horisontal ditambah dengan adanya otonomi, apalagi otonomi khusus, menyebabkan kepemimpinan yang tidak percaya diri. “Tidak semua bupati bisa dipanggil gubernur, tidak semua gubernur nurut sama presidennya,” kata Hasyim.
Ditambahkannya, secara de yure Indonesia menganut sistem presidentil, namun secara de facto adalah parlementer, karena kekuatan politik telah mengkapling kabinet itu.
“Maka sebetulnya menteri itu ikut siapa, apakah ikut presidennya apa ikut ketua partainya, dan dia bergerak untuk apa, untuk bangsanya apa untuk donator partainya,” kata Hasyim.
Dikatakannya, saat ini, sesunggungnya kabinet malah menjadi beban dan bukan solusi bagi pembangunan bangsa. Presiden tidak akan berani memasalahkan menterinya yang bertindak sembrono karena takut kepada partainya di DPR sana karena di DPR mempunyai punya hak budget.
“Nah ini apakah tidak perlu review? Ini semua memang produk dari amandemen,” kata Hasyim. (nam)