Warta

Haul Gus Dur; dari Sema'an, Wayangan hingga Orasi Perdamaian

Senin, 2 Januari 2012 | 07:30 WIB

Jakarta, NU Online
Waktu menjelang Isya. Gerimis yang turun di sekitar Ciganjur mulai menipis. Sebelumnya, sempat hujan deras. Kemudian berhenti. Di jalan Warung Sila No. 10, Jumat, (30/12) lain dari biasanya. Berbagai jenis kendaraan tersendat-sendat memasuki gang Masjid Al-Munawaroh.  Polisi dan Banser mengatur jalanan. Tapi kedua seragam itu tak terlalu menolong karena para pejalan kaki juga memenuhi gang selebar tiga meter itu.

Orang-orang yang memenuhi gang itu mengenaka pakaian beraneka ragam. Dari yang berkerudung hingga rambut diurai. Dari bercelana jeans hingga sarung. Dari yang bersepatu mengilap hingga sandal jepit. <>Mereka tergerak untuk menghadiri haul kedua KH Abdurahman Wahid. Padahal di spanduk yang menempel di pagar yayasan KH Wahid Hasyim, tidak meminta dihadiri siapa pun, tapi hanya ucapan selamat datang bagi siapa pun.

Di kiri-kanan gang, berderet berbagai penjual; mulai dari makanan, peci, serban, rebana, tasbih hingga buku. Juga pernak-pernik serba KH Abdurahaman Wahid atau Gus Dur: ada pin, gantungan kunci dan poster hingga kaos oblong.

Penjual kaos oblong itu berjaket hitam. Di sebelah kiri dadanya bergambar Gus Dur, sebelah kanan Garuda Pancasila. Kaos dalam yang dikenakannya, bergambar Gus Dur pula. Di kepalanya bertengger peci rotan khas Gorontola bertuliskan Presiden RI. Di salah satu kaos jualannya itu berbunyi, “70% tanah air kita laut. Garam saja impor. Bodoh sih nggak apa-apa, tapi kalau disengaja?”

Di situ, ada pula stiker yang bertuliskan "Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah".

Jalan menuju kediaman Gus Dur, di antara masjid Al-Munawaroh dan gedung yayasan KH Wahid Hasyim, dialasi karpet. Ibu-ibu duduk rapi memenuhi jalanan hingga ke beranda masjid. Jika memaksakan diri masuk ke halaman rumah mantan ketua PBNU tiga periode ini, maka hanya akan berdiri saja. Karena halaman luas ini sudah dipadati bermacam orang, dari berbagai profesi, kegemaran dan status.

Waktu hampir pukul delapan malam. Persis di beranda rumah, berdiri Usman Hamid. Ia yang malam itu mengenakan kemaja lengan panjang dan berkopyah hitam mengatakan, "Bahwa tiga puluh Desember, 10 tahun lalu, Gus Dur berada di Papua. Di sana, Gus DUr mendengarkan keluhan mereka. Warga Papua meminta Irian Jaya diganti Papua. Gus Dur mengabulkan. Mereka juga meminta bendera bintang kejora dikibarkan. Gus Dur juga mengabulkan, asal tidak lebih tinggi dari bendera merah putih,"

Mantan Koordinator Kontras ini melanjutkan.

“Gus Dur juga menyumbang 1 milyar rupiah untuk kongres rakyat Papua. Ia mendekati rakyat Papua dengan budaya, bukan senjata,” tambahnya, disambut tepuk tangan.

"Kontras,pernah berniat memberikan penghargaan untuk Gus Dur dalam bidang penegakkan HAM di Indonesia. Tapi urung, karena ada yang mengirim SMS seperti ini, Sejak kapan Kontras merasa lebih besar dari Gus Dur? “Orang yang mengirim itu adalah MM. Billah, orang NU yang ikut mendirikan Kontras,” tambahnya.

Giliran Yudi Latif menyampaikan pendapatnya. Menurutnya, Gus Dur adalah intelektual yang berdaulat atas pikirannya sendiri. Meskipun pikirannya menjulang ke langit tapi akarnya menghunjam ke bumi.

“Pengembaraan intelektualnya tidak melupakan tradisi,” lanjut Direktur Reform Institute ini.

Sementara Mahfud MD menyebutkan, Gus Dur itu senang bersenandung. Ia penikmat musik klasik, dangdut, hingga nasyid. Lalu ketua Mahkamah Konstitusi ini jadi konduktor. Ia meminta hadirin bersolawat Sidnan Nabi. Tapi kalimat sidi Muhammad amin khubtsi diganti Abdurahman Wahid ulamauna habibin Nabi

Sidnan Nabi sidnan Nabi sidnan Nabi
Sidnan Nabi sidnan Nabi sidnan Nabi
sidnan nabi sidnan Nabi sidnan Nabi
Abdurahman Wahid Ulamauna habibin Nabi

Manusia dari beragam kepercayaan itu menyanyi. Tak ada yang protes karena bahasa dan penggantian kalimat. Mereka masih ingat, Abdul Moqsith Ghazali bilang, iman Gus Dur dan iman Romo Mangun itu sama. Memang agama keduanya berlainan. Tapi itu bukan persoalan.

Beberapa tokoh lain dan agamawan menyampaikan pendapat dan kesaksiannya pula. Mereka punya kesan dan pengalaman masing-masing dengan dan tentang Gus Dur.

Rangkaian haul ini mulai sejak Jum’at pagi. Pada pukul delapan pagi, sema'an al-Qur’an (menderas al-Quran khatam 30 juz), hingga pukul 16.00. Selepas Asar, dilanjutkan pentas Reog Ponorogo. Ba’da Magrib, doa bersama digelar. Gus Dur tidak hanya didoakan oleh orang Islam, tapi juga Katolik, Kristen, Konghucu, Hindu dan Budha. Lalu, ba’da isya dilangsungkan baca tahlil, yasin, mauidoh hasanah, dan testimoni yang dipandu Al-Zastrow Ngatawi.

Acara ditutup pertunjukan Wayang Kampung Sebelah dengan dalang Ki Jlitheng Suparman. Dalang asal Solo itu melakonkan Kembalinya Jimat Kalimosodo. Namun, cerita ini tidak bersumber dari Mahabharata atau Ramayana, melainkan isu-isu aktual yang sedang terjadi di masyarakat, seperti perkembangan politik, ekonomi, sosial, hukum, dan budaya.

Tokoh-tokohnya pun lain dari biasanya. Tak ada Gatotkoco atau Arjuna, melainkan Kampret, Kades Somad, Mas Karyo, Pak RT. Ada juga Khoma Ramari Mari yang pandai bernyanyi dangdut yang selalu menenteng gitarnya. Tak hanya itu, ada Paramitha Orasudi dan Minul Dara Tinggi yang bisa goyang ngebor. 

Ki Jlitheng yang memakai pakaian abu-abu bergaris hitam dengan ikat kepala hitam berhasil menahan penonton pulang. Ia memang menggunakan bahasa Jawa dicampur bahasa Indonesia. Tapi bahasanya komukatif, penuh humor,  sehingga pesan-pesan yang disampaikan mudah ditangkap penonton.

Di tengah cerita, hadir sosok Gus Dur. Ia bertemu Mas Karyo dan Kampret. Keduanya mengeluh keadaan nasib bangsa ini. Apa karena dasar negara yang salah? Pancasila mesti diganti? Demikian mereka bertanya.

“Pancasilanya tidak salah, tapi penyelenggaranya. Gitu aja kok repot,” ujar “Gus Dur” enteng.

Haul cucu KH Hasyim Asy'ari ini diselenggarakan di berbagai kota di seluruh Indonesia. Aktivis, seniman, agamawan, menyelenggarakannya dengan cara masing-masing. Mereka rindu sosok Gus Dur.

Pukul 24. 30, seorang anak muda bernama Ahmad Makki, menepi di warung kopi depan masjid Al-Munawaroh. Bersama sahabatnya, ia memperhatikan orang-orang menuju pulang dengan pikiran dan perasaan masing-masing.

“Mereka datang ke sini tanpa digerakkan mesin politik mana pun,” komentar Makki.  Sahabat di sampingnya mengangguk sambil menyeruput kopi.


Penulis: Abdullah Alawi


Terkait