Kairo, NU Online
Mungkin tak ada buku yang lebih “aneh” di Abad Tengah selain Hayy ibn Yaqdhan. Ia lebih merupakan novel daripada sekadar buku filsafat. Namun justru disitulah keunggulan yang paling menonjol dari buku ini.
Demikian dikatakan Ahmad ginanjar Sya'ban dalam pengajian Hayy ibn Yaqdhan di aula kantor PCI NU Mesir beberapa waktu lalu.
<>
Ginanjar menjelaskan, banyak pengkaji berkesimpulan bahwa kitab tersebut berhasil membangun pandangan filsafat dan tasawufnya dengan gaya roman sastrawi kelas tinggi. adalah Ibnu Thufail (w. 581 H/1185 M) yang menulis karya kitab fenomenal itu. ibnu Thufail merupakan salah satu dari tiga filosof Arab-Andalus yang paling berpengaruh pada Abad Tengah.
Memang ia bukan yang pertama kali menulis filsafat dengan gaya yang serupa. Diriwayatkan bahwa Hayy ibn Yaqdhan, sebagai gaya menulis filsafat secara sastrawi, pernah dibuat pertama kali pada saat filsafat klasik di Alexandria membahana. Namun dengan segera ia dilupakan seturut dengan lenyapnya naskah filsafat klasik Alexandria.
Ibnu Sina juga menulis dengan gaya serupa. Ia juga memberi judul, Hayy ibn Yaqdhan, yang berarti Hidup Anak Kesadaran. Dan itulah pertama kali gaya penulisan roman-filsafat seperti itu dikenal dalam tradisi filsafat berbahasa Arab.
Ibnu Sina adalah seorang filosof Timur Islam termasyhur abad ke-4 Hijriah atau 10 Masehi. Ia amat menguasai lika-liku filsafat klasik.
"Sejak itulah, dengan segera kisah tersebut meledak dan menggelayuti pemikiran filosofis di seantero Timur Islam, bahkan sejak beredar pertama kali dari sudut sebuah penjara kerajaan di mana Ibn Sina disekap. Ia disalin dalam banyak naskah dan disyarahi oleh banyak pensyarah," jelas Aceng, panggilan akrab Ahmad Ginanjar Sya'ban.
Dua abad selanjutnya, kata Aceng, Ibn Thufail yang berangkat dari tradisi Barat Islam, menulis filsafat dengan gaya tersebut. Ia juga mempertahankan judul karya Ibnu Sina. Namun dengan muatan filosofis yang berbeda.
"Berbeda dengan Ibn Sina, Ibnu Thufail berhasil menyajikan karyanya itu dengan keistimewaan yang menakjubkan. Ia ditulis panjang dan detil dalam menggambarkan suatu cerita sehingga bisa dikatakan lebih mendekati bentuk novel dalam pemahaman modern daripada cerita pendek."
Ibnu Thufail juga sengaja tak memenuhinya dengan banyak rumus dan isyarat, tapi seolah lebih menjadi seorang sastrawan ahli filsafat yang sedang bernarasi.
Di samping itu, ia berhasil membangun paham filosofis dan sufistiknya yang mendalam secara menyeluruh, dengan tetap mempertahankan keindahan ungkapan dan kejelasan makna.
Yusuf Zaidan, dalam pengantarnya terhadap buku kumpulan kisah yang bertajuk Hayy ibn Yaqdhân terbitan Dar el-Sorouk tahun 2009, bahkan membeberkan adanya indikasi benih Teori Evolusi dalam Hayy ibn Yaqdhân buatan Ibn Thufail dan Fâdlil ibn Nâthiq buatan Ibn al-Nafis (juga disinggung lagi di paragraf selanjutnya), juga benih Teori Peredaran Darah dalam karya Ibn al-Nafis tersebut.
Maka tak heran dunia Barat Islam dengan segera dibuat takjub oleh capaian filosofis-sastrawi itu, kemudian akhirnya merembet hingga Eropa. Nama-nama novel seperti Robinson Crusoe karya Daniel Defoe (1719) dan Gulliver's Travels karya Jonathan Swift (1726) nyatanya terinspirasi dari karya Ibn Thufail tersebut.
Praktis nama Ibnu Thufail melambung tinggi bersamanya, saling bersinergi begitu erat, hingga bila disebut Hayy ibn Yaqdhân, "otomatis" Ibn Thufaillah pengarangnya.
Aceng bercerita, "Kembali ke belahan Timur Islam pada Abad Tengah dekat dengan masa Ibn Thufail hidup. Seorang pemuda ajaib, teosof aliran illuminasi, Syaikh al-Isyrâq al-Suhrawardi al-Maqtûl kebetulan mendapati Hayy ibn Yaqdhân karya Ibn Sina penuh dengan kalimat ruhaniah dan isyarat yang mendalam. Sesuai dengan kecenderungan sufistiknya, ia pun terinspirasi untuk menulis ajaran illuminatifnya dengan gaya bercerita seperti itu. Ia namai dengan al-Ghurbah al-Gharbiyyah."
"Kemudian muncul seorang ensiklopedis dan dokter Arab terkenal dari Damaskus pada abad ke-7 Hijriah/-13 Masehi. Ia, yang lebih dikenal dengan Ibn al-Nafis, "tak disangka" juga ikut bersumbangsih kisah ala Hayy ibn Yaqdhân tersebut dengan judul Fâdlil ibn Nâthiq dan dengan muatan pesan moral yang berbeda dari yang sebelumnya pernah ada."
"Saya curiga, cerita ini sebenarnya mengambil setting Nusantara karena ilustrasi dalam Hayy bin Yaqdzan memang klop dengan geografi negeri kita," kata Aceng
Barangkali benar, seperti kecurigaan Aceng, Ibnu Tufail mengambil setting dari karya al-Mas'udi tentang latar geografis daerah yang begitu subur, terletak di garis khatulistiwa, memliki tanah yuang begitu subur, dengan hutan-hutan lebat yang kaya hewan liar.
Ini juga diperkuat bahwa penyebutan latar juzur al-hindi (kepulauan Hindia, red.) sejatinya tak ada di daerah Hindia. Justru Nusantara dulu dikenal sebagai kepulauan Hindia ini.
Redaktur : Hamzah Sahal
Kontributor : Itho Athoillah