Warta

Islam Radikal, Islam Dangkal

Senin, 17 Oktober 2011 | 03:34 WIB

Jakarta, NU Online
Semakin dangkal kajian seseorang terhadap agamanya, makin besar potensi radikalnya. Semakin mendalam dan lama belajarnya seseorang terhadap agamanya, makin lembut sikapnya.

Demikian dikatakan Sekretaris Rabithah Ma’ahad Islami (RMI) Miftah Faqih saat jadi pembicara pada Workshop Deradikalisasi Agama Berbasis Kiai dan Pesantren; Meneguhkan Islam Rahmatan lil Alamin, Ahad, (16/10), di Jakarta.

<>“Karena itulah, santri-santri NU tidak mungkin radikal. Bahkan dipaksa sekali pun. Santri-santri NU tidak tahu kalimat apa-apa kecuali kalimat perdamaian: Hum la ya’rifuna qawlan illa qawlan salama (mereka tidak tahu perkataan, kecuali perkataan damai, red.) Kenapa? Karena garis perjuangannya itu banyak berdasar pada substansi,” jelas Miftah.

Miftah menambahkan, pesantren-pesantren NU memiliki beberapa fungsi, di antaranya mendidik dan mengajar seseorang dengan mendalam di bawah bimbingan kyai. “Yang diajarkan tidak lepas dari tidak lepas dari Al-Quran, Hadits, Qiyas, pendapat ulama,” tambahnya.

Dikatakanya, transformasi dari keilmuan yang sudah didalami ke dalam tindakan-tindakan, sehingga banyak sekali pesantren yang menjadi pioner perubahan. Fungsi lain dari pesantren adalah penguatan, yaitu fungsi sosial pesantren ke masyarakat (dakwah).

Lebih jauh ia mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang paling tua di negeri ini, yang punya kontrubusi luar bisa dalam pemanusiaan manusia Indonesia dalam penanaman nilai berbangsa dan bernegara. Dan terbukti tidak pernah melahirkan Islam radikal.

Workshop yang berlangsung dari hari Sabtu (15/10) dibuka Wakil Sekretaris Jendral PBNU, Imdadun Rahmat, dan akan berakhir hari ini (17/10). Acara ini diikuti 50 peserta yang terdiri dari para kiai, nyai, ustadz, santri senior dan da’i NU. Workshop ini diselenggarkan atas kerja sama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Penulis: Abdullah Alawi

Semakin dangkal kajian seseorang terhadap agamanya, makin besar potensi radikalnya. Semakin mendalam dan lama belajarnya seseorang terhadap agamanya, makin lembut sikapnya.
Demikian dikatakan Sekretaris Rabithah Ma’had IslamI (RMI) Mitah Faqih saat jadi pembicara pada Workshop Deradikalisasi Agama Berbasis Kiai dan Pesantren; Meneguhkan Islam Rahmatan Lil-Alamin Ahad, (16/10), di Jakarta.
“Karena itulah, santri-santri NU tidak mungkin radikal. Bahkan dipaksa sekali pun. Santri-santri NU tidak tahu kalimat apa-apa kecuali kalimat perdamaian: Hum la ya’rifuna qawlan illa qawlan salama (mereka tidak tahu perkataan, kecuali perkataan damai, red.) Kenapa? Karena garis perjuangannya itu banyak berdasar pada substansi,” jelas Miftah.
Miftah menambahkan, pesantren-pesantren NU memiliki beberapa fungsi, di antaranya mendidik dan mengajar seseorang dengan mendalam di bawah bimbingan kyai. “Yang diajarkan tidak lepas dari tidak lepas dari Al-Quran, Hadits, Qiyas, pendapat ulama,” tambahnya.
Dikatakanya, transformasi dari keilmuan yang sudah didalami ke dalam tindakan-tindakan, sehingga banyak sekali pesantren yang menjadi pioner perubahan. Fungsi lain dari pesantren adalah penguatan, yaitu fungsi sosial pesantren ke masyarakat (dakwah).
Lebih jauh melanjutkan di mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang paling tua di negeri ini, yang punya kontrubusi luar bisa dalam pemanusiaan manusia Indonesia dalam penanaman nilai berbangsa dan bernegara. Dan terbukti tidak pernah melahirkan Islam radikal.
Workshop yang berlangsung dari hari Sabtu (15/10) dibuka Wakil Sekretaris Jendral PBNU, Imdadun Rahmat, dan akan berakhir hari ini (17/10). Acara ini diikuti 50 peserta yang terdiri dari para kiai, nyai, ustadz, santri senior dan da’i NU. Workshop ini diselenggarkan atas kerja sama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Penulis: Hamzah Sahal




Islam Radikal, Islam Dangkal
Semakin dangkal kajian seseorang terhadap agamanya, makin besar potensi radikalnya. Semakin mendalam dan lama belajarnya seseorang terhadap agamanya, makin lembut sikapnya.
Demikian dikatakan Sekretaris Rabithah Ma’had IslamI (RMI) Mitah Faqih saat jadi pembicara pada Workshop Deradikalisasi Agama Berbasis Kiai dan Pesantren; Meneguhkan Islam Rahmatan Lil-Alamin Ahad, (16/10), di Jakarta.
“Karena itulah, santri-santri NU tidak mungkin radikal. Bahkan dipaksa sekali pun. Santri-santri NU tidak tahu kalimat apa-apa kecuali kalimat perdamaian: Hum la ya’rifuna qawlan illa qawlan salama (mereka tidak tahu perkataan, kecuali perkataan damai, red.) Kenapa? Karena garis perjuangannya itu banyak berdasar pada substansi,” jelas Miftah.
Miftah menambahkan, pesantren-pesantren NU memiliki beberapa fungsi, di antaranya mendidik dan mengajar seseorang dengan mendalam di bawah bimbingan kyai. “Yang diajarkan tidak lepas dari tidak lepas dari Al-Quran, Hadits, Qiyas, pendapat ulama,” tambahnya.
Dikatakanya, transformasi dari keilmuan yang sudah didalami ke dalam tindakan-tindakan, sehingga banyak sekali pesantren yang menjadi pioner perubahan. Fungsi lain dari pesantren adalah penguatan, yaitu fungsi sosial pesantren ke masyarakat (dakwah).
Lebih jauh melanjutkan di mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang paling tua di negeri ini, yang punya kontrubusi luar bisa dalam pemanusiaan manusia Indonesia dalam penanaman nilai berbangsa dan bernegara. Dan terbukti tidak pernah melahirkan Islam radikal.
Workshop yang berlangsung dari hari Sabtu (15/10) dibuka Wakil Sekretaris Jendral PBNU, Imdadun Rahmat, dan akan berakhir hari ini (17/10). Acara ini diikuti 50 peserta yang terdiri dari para kiai, nyai, ustadz, santri senior dan da’i NU. Workshop ini diselenggarkan atas kerja sama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Penulis: Hamzah Sahal





Terkait