Warta

Jangan hanya Manjakan Sektor Industri

Jumat, 9 Februari 2007 | 03:02 WIB

Jogyakarta, NU Online
Posisi kaum tani sebagai tumbal pembangunan telah lama terjadi, jauh hari sebelum negeri ini memasuki masa reformasi. Sayang, reformasi paripurna dalam tata-politik dari monolitik-sentralistik menjadi desentralistik ternyata nyaris tidak membawa berkah bagi kaum tani.

Tumbalisasi terjadi dalam format perkonomian yang dikotomis memperhadapkan sektor pertanian-pedesaan-tradisionil dengan sektor industri-perkotaan-moderen, dan sekarang ini belum juga terbenahi dengan nyata. Musibah perberasan nasional menunjukkan betapa sempurnanya tumbalisasi kaum tani di era reformasi.

<>

"Pemanjaan sektor industri dengan mengurbankan sektor pertanian dan pedesaan sudah waktunya dihentikan. Dikotomi Agro-Pedesaan-Tradisional vis-à-vis Industri-Perkotaan-Modern amat-sangat tidak adil dan memerlukan reformasi struktural kebijakan perekomian yang sinergis dan tidak dikotomis,” kata Wakil Ketua Pengurus Wilayah nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta KH. Mohammad Maksum dihubungi NU Online, Jum’at (9/2).

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Inpres 13/2005 tentang perberasan, sebagai landasan legal perberasan nasional, telah melegalkan segala tumbalisasi itu terjadi. Angka-angka HPP (Harga Pembelian Pemerintah) dalam Inpres 13/2005 tersebut terlalu rendah, bahkan lebih rendah dari rerata harga pasar di saat panen raya sekali pun. Fakta ini, kata Maksum, menjadi alasan pembelian BULOG rendah.

Menurutnya, Inpres tersebut diterbitkan Oktober 2005 dan menjadi tidak layak ketika keseluruhan beaya produksi telah meroket di kemudian hari sebagai akibat dari kenaikan harga BBM 162%, Oktober 2005.

Selain itu Proporsi HPP juga sangat tidak masuk akal.  Besaran HPP untuk Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG), dan Beras yang masing-masing sebesar: Rp 1.730/kg, Rp 2.280/kg dan Rp 3.550/kg. Dari angka-angka ini terhitung bahwa pada tingkat rendemen beras/gabah sebesar 60%, setiap kilogram beras seharga Rp 3.550,- mutlak memerlukan GKG sebanyak 1,66 kg yang harganya Rp 3.807,-

”Harga beras lebih rendah dari harga gabah bahan bakunya. Ini kadzaab dan sejak Gadjah Mada masih hidup, sangat mustahil terjadi,” kata Maksum

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Akibat dari HPP murah ini, Bulog tidak membeli cukup stok dari dalam negeri dan hanya mencapai 60% dari target pengadaannya 2006Sementara fihak konsumen beras memandang harga beras harus murah dan akan menuntut harga selalu murah kepada pemerintah. Lalu operasi pasar (OP) dilakukan pada tingkat harga rendah. Pada titik ini, kata Maksum, kaum tani telah kehilangan gairah produksi.

”Sederhana sekali reaksi yang muncul pada tingkat negara, bahwa dalam kondisi cadangan Bulog terbatas, dan keharusan pengamanan harga karena tuntutan politis publik atas HPP beras yang ilusif tersebut, maka dilakukanlah importasi bertubi-tubi,” katanya.

Dengan reaksi importasi seperti itu, lingkaran perberasan nasional tidak akan pernah terbenahi dengan baik. Karena kita telah melupakan inti persoalan yang sesungguhnya sangat jelas, yaitu landasan legal yang sangat tidak berkeadilan.

Dengan HPP yang rendah dan tidak proporsional, selamanya pengadaan dalam negeri akan jeblog, sementara manipulasi harga tengkulak menjadi-jadi, OP harus dilakukan secara bertubi-tubi dan semangat produksi mengalami stagnasi. Seharusnya solusi itu bisa dijabarkan lebih adil melalui sistem subsidi-dan-taksasi memadai. Tetapi, solusi Negara terperangkap importasi-importasi, menggadaikan kedaulatan pangan dan perut bangsa RI.

Asbabul mushibah beras adalah tidak proporsional dan rendahnya HPP dan karenanya, Inpres 13/2005 harus segera dikaji ulang. Kebijakan pangan murah hanya berkeadilan apabila dilakukan dengan sistem subsidi-dan-taksasi yang manusiawi,” pungkasnya. (nam)