Warta

Jangan Jadi Alasan untuk Impor Lagi!

Jumat, 15 Desember 2006 | 09:39 WIB

Yogyakarta, NU Online
Kenaikan harga beras perlu disikapi sebagai hal yang biasa, sebagai konsekuensi dari kenaikan biaya produksi. Pemerintah diharap tidak membesar-besarkan isu ini sehingga membuat masyarakat panik, apalagi sampai dijadikan dalih untuk mengimpor beras lagi.

“Ada banyak alasan, diantaranya biaya produksi yang memang naik. Dan Desember-Januari memang harga tertinggi. Tetapi mari lihat itu wajar-wajar saja, jangan dipolitisir. Naiknya masih wajar seputar 25 persen harga pembelian pemerintah (HPP),” kata KH Mohammad Maksum, Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kepada NU Online, Jum’at (15/12).

<>

Lebih dari itu HPP harus dinaikkan karena terlalu rendah dan tidak masuh akal karena HPP beras lebih murah dari harga bahan bakunya. Menurut Maksum, Inpres 13/2005 yang mengatur tentang itu sudah kadaluarsa

ADVERTISEMENT BY OPTAD

“Inpres 13/2005 itu sudah waktunya dibredel. Harusnya HPP senilai Rp. 4000 bukan Rp. 3550. BBM naik, pupuk naik, lain-lainnya naik masa HPP tidak dinaikkan? Apa nggak dholim terhadap petani?” seru Maksum.

Soal kekhawatiran akan adanya impor beras susulan menyusul kenaikan harga beras saat ini, dikatakannya, syahwat importasi sekelompok elit pemerintah, anehnya, sama persis dengan keinginan Bank Dunia.

Andrew Steer, kepala perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia beberapa waktu lalu menyatakan 49% rakyat Indonesia berpotensi miskin. William Wallace sebagai chief economist Bank Dunia menyatakan bahwa kemiskinan itu bertambah 3,1 juta orang karena harga beras naik.

Tentunya ini langsung ditelan saja oleh elit pemerintah yang ditunggangi spekulan impor. Padahal Bank Dunia amat tendensius demi stabilitas dan murahnya investasi mereka. Investasi memang butuh beras murah agar supaya UMR tetap murah dan investasi layak.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

“Indikasi pendhaliman ini mudah kog ditengarahi. Ketika ada inflasi besar dan menakutkan, maka bisa diduga solusinya adalah menurunkan harga beras. Bagaimana tidak rugikan petani produsen kalau gini. Sungguh tidak bisa difahami bahwa negara ini begitu taat, sami’na wa atha’na terhadap Bank Dunia. Padahal politisasi beras oleh Bank Dunia sudah kebablasan,” kata Maksum.

Biarkan Petani Menikmati

Sementara itu pemerintah Provinsi DIY menyatakan belum akan mengadakan operasi pasar beras, walau harga beras di pasaran membubung tinggi. Pemerintah DIY, justru berharap kenaikan harga beras ini bisa dinikmati petani walau sifatnya hanya sementara.

''Harga beras memang terus naik. Tapi untuk sementara biar seperti ini dulu. Dalam kondisi seperti ini, setidaknya para petani bisa menjual beras mereka dengan harga yang lebih baik,'' kata Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Kamis (14/12) kemarin.

Dijelaskan Sultan, pemerintah Yogyakarta untuk sementara belum akan meminta digelarnya operasi pasar beras. Meski demikian, pihaknya juga akan terus memantau perkembangan harga beras tersebut. Jika memang sudah mendesak untuk digelar operasi pasar, pihaknya akan segera mengajukan permohonan ke Menteri Perdagangan agar digelar operasi pasar tersebut. (nam/sm)