Warta

Jika Playboy itu Seni, untuk Siapa?

Senin, 17 April 2006 | 02:58 WIB

Jakarta, NU Online

Kesenian harus berpihak pada nilai. Masing-masing seniman mempunyai rincian definisi tersendiri mengenai keberpihakan itu, dan memang tidak harus dijelaskan cecara detail. Masalahnya, majalah Playboy versi Indonesia yang saat ini kontroversial itu jelas-jelas berpihak pada kaum kapitalis. Apakah para seniman cukup puas dengan hanya berpihak kepada bos majalah playboy, para pemodal?

<>

Hal itu dilontarkan oleh M Dienaldo, Sekjen Lembaga Seni Budaya Muslim Nahdlatul Ulama (Lesbumi) di PBNU, Sabtu (15/4). Ya, sepertinya pertanyaan tadi tidak perlu dijawab. Persoalannya sudah jelas bahwa Playboy versi Indonesia dengan berbagai kleniknya adalah fenomena bisnis. Masalahnya, ada yang membela peredaran Playboy dengan mengatasnamakan kesenian.

Karya seni, demikian Dienaldo, harus punya konteks cultural dan dengan lingkungan kehidupan sekitar sekalipun disaji dengan ramuan yang abstrak. Ketika tak ada kontek, perlawanan pasti muncul. "Playboy itu merugian orang lain yang tak setuju. Merugikan orang yang nilainya berlawanan dan tidak ada relevansinya untuk Indonesia dan demokrasi yang memihak orang yang lemah," katanya.

Menurut Dienal, sah-sah saja menggandrungi gaya hidup ala Hugh Hefner, pendiri "kerajaan" Playboy. Namun bukan berarti seenaknya mendirikan "kerajaan" Playboy itu di Indonesia, katakanlah pertama-tama dengan ramuan yang agak Indonesia.

"Silahkan saja mengonsomsi nilai-nilai Barat yang porno tapi kemudian itu tidak bisa diproduksi di sini. Cari saja majalah Playboy di Amerika sana. Misalnya kita ingin melacur masa di pesantren! Meskipun tidak sevulgar Playboy Amerika, misalnya, orang telanjang lalu dikasi lighting yang bagus, dengan angle yang bagus, foto grafer nomor wahid, ini kan kemasannya yang seni tapi isinya tetap porno karena menampilkan orang telanjang," katanya.

Ditanya soal "profesionalisme" yang menjadi alasan para model, fotografer, dan redaksi untuk menyalurkan bakatnya, penganut faham "seni untuk rakyat" itu bergeming. Selama ini, katanya, profesionalisme sering dikontekkan dengan hal-hal yang tak terbatas, mengutamakan skil, tidak memakai nurani, dan tidak menggunakan nilai-nilai moral. "Pencuri kan juga professional," katanya.

Dienal menambahkan, kitab kuning yang diajarkan di pesantren memang sangat vulgar dalam mambahas bagian tubuh manusia yang berhubungan dengan seks. Namun, menurutnya, kitab kuning adalah alat untuk mendidik, sama dengan kevulgaran yang ada di dunia kedokteran.

"Tapi kalau Playboy itu jelas-jelas menjadikan yang vulgar itu sebagai komoditas. Ini tidak bener. Belum lagi persoalan penyusupan budaya luar yang dianggap modern melalui dunia seks yang fantastik itu. Terus terang, saya menolak Playboy itu karena telah membendakan manusia. Playboy adalah predator yang tak tertandingi," katanya. (nam)


Terkait