Kalangan pesantren merasa perlu untuk membahas dan mencari format gerakan bersastra di Pesantren, sembari mencari bibit-bibit baru sastrawan dari kalangan santri.
Demikian dikatakan Ketua Pimpinan Pusat Asosiasi Pesantren se-Indonesia atau Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI ) KH Mahmud Ali Zain dalam pembukaan Halaqah Nasional Kebudayaan Pesantren bertema “Kebangkitan Sastra Pesantren" bertempat di Pesantren Tebuireng Jombang, Jumat ( 22/8).<>
Dalam Sambutannya sebagai panitia penyelenggara, Mahmud mengaku tergelitik ketika salah satu santri pesantren, yakni Habiburrahman El Syirazy menulis Novel Ayat- ayat Cinta yang begitu fenomenal hingga diangkat dalam layar lebar.
“Ini bukti potensi pesantren, yang memang kemudian harus lebih digali secara lebih serius” katanya di depan sekitar dua ratus peserta dari pesantren, penulis, pimpinan Redaksi majalah se-Jawa.
Lebih lanjut Mahmud mengharapkan dengan adanya halaqah ini ada sinergitas para penulis pesantren dan mampu menumbuhkan para penulis baru.
Sementara terkait dengan perdebatan istilah tema sastra pesantren, KH Shalahuddin Wahid, yang berbicara sebagai tuan rumah menyatakan, lebih tepat menyebut kebangkitan sastra pesantren dengan kebangkitan sastra santri. “Lebih pas disebut sastra santri, karena santri itu mesti dari pesantren,” katanya.
Ditambahkannya bahwa sastra di lingkungan pesantren bukanlah sesuatu yang asing atau aneh, sembari kemudian mencontohkan beberapa penulis dari pesantren semacam Gus Mus dan Ahmad Thohari. “Namun, perjuangan sastra atau budaya bukan sesuatu yang mudah,” imbuhnya
“Contohnya Gus Ishom Almarhum yang mencoba dan aktif menulis artikel dan cerpen,” katanya. Gus Sholah mengharapkan agar sastra pesantren dapat dikembangkan dalam berbagai bentuk secara lebih baik, lewat prosa atau puisi.
“Harapan saya, semoga nantinya pesantren dapat lebih baik dan dapat melahirkan sastrawan sekelas Naquib Mahfudz," katanya yang diamini segenap peserta halaqah. (yus)