Jakarta, NU Online
Agama mestinya didefinisikan sebagai kebudayaan. Agama diturunkan ke dunia sebagai wahyu, namun ketika wahyu itu ditafsirkan maka menjadilah kebudayaan. Dengan demikian beragama sebenarnya adalah berbudaya.
Demikian sastrawan asal Purwokerto, Jawa Tengah, KH. Ahmad Tohari dalam Diskusi NU Online di gedung PBNU (30/6) lalu. Ada kesan minder dan tidak islami ketika menjalankan Islam dalam kerangka kebudayaan asli Indonesia dan penyakit seperti ini harus diatasi.
<>“Kita menjadi Jawa itu tidak bisa ditolak, itu rencana Tuhan sendiri, kita tidak bisa memilih. Mestinya begini-ini jadi bagian dari keimanan dan sekaligus ketakwaan kita. Jadi jangan diingkari keindonesiaan kita, kejawaan kita. Orang Jawa itu kalau mau menghormati orang tua itu harus unggah-ungguh (dengan tata krama khusus: Red), sementara Nabi itu kalau menghormati orang tua tidak menggajajarkan unggah-ungguh dalam berbahasa,” kata Tohari.
Bahkan Islam Jawa itu masih perlu dipecah-pecah lagi. Ada Islam Banyumas, ada Islam Tegal, dan seterusnya. Ahmad Tohari mengatakan, dengan begitu umat Islam yang mayoritas di Indonesia akan menjadi sangat plural dan modern.
Penulis novel "Ronggeng Dukuh Paruk" yang telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa asing itu mengingatkan, saat ini gejala arabisasi di pesantren-pesantren semaikin kuat. “Coba sekarang pesantren-pesantren kog memakai nama Arab. Kritik ini diucapkan Gus Dur di Bali. Saya sudah ngomong ini lima tahun yang lalu. Krapyak mbok yoho Kerapyak saja, Tebuireng ya tebuireng saja, nggak usah pakai nama Arab,” katanya.
Memang sudah banyak yang terlambat dan salah kaprah, namun kata Tohari, ada yang masih bisa dilakukan yakni kembali berislam seperti dulu, membuka peluang terhadap kebudayaan lokal. “Sebetulnya beginilah NU yang memang sejak lama diajarkan inklusifitas. Coba diingatkan orang-orang tua itu kog sekarang menjadi ekslusif begitu,” katanya. (nam)