Warta

KH Ahmad Asnawi: Puasa Menetralisir Nafsu

Kamis, 3 September 2009 | 20:10 WIB

Kudus, NU Online
Tubuh manusia membutuhkan energi untuk bertahan hidup. Energi jasmaniah diperoleh dari makanan. Sedangkan energi ruhaniah diperoleh dari ibadah. Jika tidak memenuhi salah satu dari itu, maka manusia akan mati.

Menurut KH Ahmad Asnawi, ibadah bukan saja menjadi tuntutan bagi manusia, melainkan telah menjadi kebutuhan. Kebutuhan itu tidak sekadar satu jenis saja. Ibarat makanan, paling tidak, ibadah terbagi menjadi empat sehat lima sempurna. Syahadat, sholat, puasa, zakat dan disempurnakan dengan haji.<>

“Ibadah itu adalah makanan ruhani, ia tidak hanya terdiri dari satu jenis saja. Paling tidak, manusia membutuhkan empat sehat lima sempurna untuk memenuhi kebutuhan ruhaninya,” katanya dalam forum pengajian di di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus yang digelar Rabu (2/9) kemarin, seperti dilaporkan kontributor NU Online Widi Muryon.

Dalam kesempatan pengajian yang digelar Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) STAIN Kudus itu, KH Asnawi menuturkan bahwa seorang belum cukup dikatakan bertaqwa jika hanya berbekal satu nutrisi saja. Ibarat manusia hanya makan nasi saja, maka tubuhnya hanya mendapatkan karbohidrat saja. Sedangkan kebutuhan protein, vitamin dan nutrisi lainnya tidak tersuplai.

Di sela-sela pembicaraannya, ia menegaskan bahwa puasa tidak lain merupakan terapi manusia untuk menetralisir nafsu yang meliputi jiwa. Menurutnya, fitrah manusia yang memiliki nafsu menuntut upaya konkrit untuk mengendalikan nafsu itu.

Ia menekankan bahwa puasa adalah langkah yang paling efektif untuk menetralisir nafsu. “Dengan berpuasa, nafsu dalam tubuh manusia yang ibarat virus jiwa akan ternetralisir,” ujarnya.

KH Asnawi menegaskan, satu-satunya keadaan yang mampu mengendalikan nafsu adalah rasa lapar. Sehingga, menurutnya, puasa adalah terapi paling ampuh untuk mengendalikan nafsu.

Selain itu, beliau juga menjelaskan bahwa selama manusia masih mampu menggunakan akalnya, maka selama itu pula ia masih akan mengenal Tuhannya. Dan selama manusia dikuasai nafsunya, maka ia akan lupa dengan Tuhannya. “Selamat atau tidaknya manusia, tergantung bagaimana ia mengatur nafsu dan akalnya,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa puasa memiliki potensi penuh untuk membentuk karakter manusia. Sebab, menurutnya, puasa tidak akan diamalkan kecuali didasari dengan taqwa. Puasa adalah urusan antara hamba dengan Allah.

Sekedar contoh, jika seseorang tidak melaksanakan shalat, misalnya, maka orang lain akan segera mengetahui. Berbeda dengan puasa, keteguhan hati seseorang dalam menjaga amanah dalam puasa menjadi urusannya sendiri.

Menurutnya, dalam kondisi ini puasa telah menuntut manusia untuk berlaku jujur, menjaga amanah. “Puasa hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memang benar-benar bertaqwa,” tegasnya. (nam)


Terkait