Surabaya, NU Online
Kesimpulan bahwa budaya politik di Indonesia sangat “kejam” memang dapat dibenarkan namun bukan berarti tidak layak untuk digeluti oleh para kiai. Justru kondisi politik yang seperti itu harus dimasuki untuk segera diluruskan dan dibenahi.
Wakil Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur KH Miftchul Akhyar berpendapat, layak tidaknya kiai bergelut dalam dunia politik sepenuhnya tergantung pada kemampuan pribadi yang bersangkutan. Jika merasa mampu dan dapat mengambil manfaat untuk kemaslahatan umat yang lebih besar, maka boleh-boleh saja berpolitik.
<>“Tapi kalau tidak bisa melakukannya, sebaiknya keluar saja. Kalau masih gampang ikut arus, sebaiknya menghindar, karena akan merusak diri sekaligus nama baik kiai. Imej politik yang kotor itu tidak layak untuk kiai,” tuturnya.
Saat berlangsung pertemuan para kiai di Pesantren Edy Mancoro Semarang beberapa waktu yang lalu, sempat muncul harapan agar para kiai segera back to basic. Para kiai diminta untuk segera meninggalkan gelanggang politik lalu mengurusi pesantren sepenuhnya.
Menurut Kiai Miftah, pada kenyataannya, mereka yang melibatkan diri ke dalam dunia politik memang lebih sering hanyut terbawa arus politik yang telah rusak daripada memberikan warna politik yang sehat. Namun kiai tidak harus meninggalkan dunia politik.
Pengasuh Pondok Pesantren Miftachussunnah, Kedungtarukan, Surabaya itu berharap, para kiai yang masih hobi berpolitik sebaiknya tidak masuk secara total, agar tidak tenggelam diterjang arus.
Dikatakan, mereka harus bisa bersikap wait and see, melihat dan dan menunggu. Jika ada kesempatan untuk memberikan sesuatu, maka kiai dapat segera masuk dan melakukan sesuatu untuk kemaslahatan umat. Namun jika arus politik yang tidak sehat terlalu deras, sebaiknya para kiai menghindar saja. “Dengan begitu kiai akan lebih dihargai,” pungkasnya. (sbh)